JOKOWI DAN POLITIK KEMARTIRAN (𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘚𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘛𝘢𝘬 𝘗𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘜𝘴𝘢𝘪). Oleh : Herry Tjahjono *)

0

nataragung.id – Hari ini, 20 Mei 2025, Presiden Joko Widodo memenuhi panggilan Bareskrim untuk memberi klarifikasi soal ijazahnya—isu lama yang tak pernah benar-benar mati. Satu sisi publik merasa heran, sisi lain merasa lelah: mengapa seorang presiden dua periode, yang kinerjanya diakui dunia, harus berulang kali membela hal yang begitu elementer?

Tapi barangkali, justru di situ jawabannya.

Jokowi tidak sedang diserang karena ijazah. Ia diserang karena kehadirannya. Karena narasi tentang dirinya tidak cocok dengan konstruksi ideal sebagian elit tentang kekuasaan. Ia tidak datang dari dalam lingkaran itu. Ia tidak dibentuk oleh mereka. Ia hadir, lalu tumbuh, menetap—dan itu mengganggu banyak sekali skenario lama.

𝗞𝗶𝘁𝗮 𝘀𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝗸𝘀𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗽𝗼𝗹𝗮: 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗽𝗲𝗹𝘂𝗿𝘂 𝗱𝗶𝗮𝗿𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘁𝗶𝘁𝗶𝗸. Entah soal keluarga, kepentingan, istana, atau surat tanda kelulusan—semuanya menyasar sosok yang sama: Jokowi.

Baca Juga :  OPINI : BUKAN GERTAK ANYING Oleh : Budi Setiawan

Maka pertanyaannya bukan lagi “apa tuduhannya?”, tapi “kenapa harus dia?”

Ada kemungkinan kita sedang menyaksikan satu bentuk “martir politik”, “politik kemartiran”, dalam lanskap kekuasaan modern: seseorang yang secara sadar atau tidak, diposisikan untuk menanggung beban kebencian—agar sistem yang lebih besar bisa terus bekerja tanpa gangguan berarti.

“𝗠𝗮𝗿𝘁𝗶𝗿” 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗹𝗮𝗵. 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵, 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗺𝗲𝗰𝗮𝗵 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “𝘠𝘰𝘶 𝘮𝘢𝘺 𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘳𝘦𝘴𝘶𝘭𝘵𝘴 𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘰𝘧 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘢𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴. 𝘉𝘶𝘵 𝘪𝘧 𝘺𝘰𝘶 𝘥𝘰 𝘯𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨, 𝘵𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘸𝘪𝘭𝘭 𝘣𝘦 𝘯𝘰 𝘳𝘦𝘴𝘶𝘭𝘵.”

Jokowi, dalam narasi ini, bukan sekadar pemimpin yang bekerja. Ia telah menjadi titik tarik gravitasi dari seluruh frustrasi yang tak tersalurkan. Serangan kepadanya membuat yang lain bisa bekerja tanpa beban. Setidaknya, saat ini, para menteri pemerintahan baru bisa lebih fokus, kabinet tetap solid, agenda pembangunan relatif berjalan. Seolah-olah Jokowi menyerap petir, agar langit di belakangnya tetap cerah.

Baca Juga :  Metode Yang di Pergunakan Oleh Ormas Islam dan Pemerintah Dalam Menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Oleh : H. SyahidanMh *)

Namun, kita tidak boleh naif. Bisa jadi ini bukan sekadar peran yang dijalani dengan keikhlasan, tapi juga bagian dari agenda besar yang lebih kompleks.

𝗞𝗲𝗻𝗮𝗽𝗮 𝗝𝗼𝗸𝗼𝘄𝗶 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 “𝗱𝗶𝗵𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿𝗸𝗮𝗻”?
Karena membongkar legitimasinya adalah cara tercepat untuk mendiskreditkan semua yang ia tinggalkan: transisi kekuasaan, proyek-proyek besar, suksesor kepemimpinannya di masa depan, bahkan kepercayaan publik pada arah bangsa. Jika ia jatuh sebagai sosok, maka warisan kebijakannya bisa dianggap cacat sejak akar. Dan itulah jalan pintas bagi mereka yang ingin membalik kembali waktu dan kendali.

𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲𝗹𝗲𝗹𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗮𝗻, 𝗸𝗲𝗿𝗮𝗴𝘂𝗮𝗻 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗮𝗹𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗸𝗮𝗻.
Tak butuh bukti, cukup desas-desus. Tak perlu fakta, cukup opini viral.

Baca Juga :  Menghidupkan Kembali Kearifan Lokal Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Namun sejarah selalu menilai secara berbeda. Waktu punya caranya sendiri untuk menimbang siapa yang sungguh bekerja, dan siapa yang hanya pandai mencaci.

Mungkin kita sedang hidup di masa seperti kata Vaclav Havel, seorang pejuang demokrasi Ceko:
“𝘛𝘩𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘭 𝘵𝘦𝘴𝘵 𝘰𝘧 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘩𝘰𝘸 𝘸𝘦𝘭𝘭 𝘺𝘰𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦 𝘱𝘰𝘸𝘦𝘳, 𝘣𝘶𝘵 𝘩𝘰𝘸 𝘥𝘦𝘦𝘱𝘭𝘺 𝘺𝘰𝘶 𝘳𝘦𝘮𝘢𝘪𝘯 𝘩𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘧𝘢𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘪𝘵.”

Dan barangkali, Jokowi sedang menjalani ujian itu—dengan sepi yang panjang, dan luka yang sunyi.

*) Penulis adalah Profesional (Former), CEO Perusahaan Swasta, Penulis Buku, Kolumnis KOMPAS.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini