nataragung.id, Artikel — Namaku Fulanah, seorang perempuan biasa yang pernah merasa begitu kehilangan arah. Hidupku tak benar-benar hancur, tapi ada kehampaan yang sulit dijelaskan. Aku masih bisa tertawa, bekerja, bahkan bergaul… tapi di balik semua itu, ada jiwa yang terasa sepi.
Aku pernah bertanya dalam hati, “Kenapa semuanya terasa datar? Kenapa hati ini terasa jauh dari ketenangan, padahal aku tidak sedang kekurangan?”
Ada sesuatu yang hilang. Tapi aku tak tahu apa.
Hingga suatu malam, dalam keadaan letih setelah hari yang penuh tekanan, aku tergerak untuk bangun di sepertiga malam. Bukan karena ingin beribadah mulia, tapi karena tak sanggup menahan tangis. Aku menangis begitu saja, seperti anak kecil yang ingin pulang ke pelukan ibunya.
Malam itu, aku memulai shalat Tahajud. Tak ada doa indah. Hanya linangan air mata dan bisikan,
“Ya Allah… aku lelah. Aku butuh Engkau.”
Keesokan harinya, aku mulai membiasakan diri melafalkan istighfar. Tak banyak, hanya seratus kali setiap selesai shalat. Tapi perlahan, kalimat itu mulai meresap ke dalam hati:
Astaghfirullah…
Astaghfirullah…
Aku mulai merasa lebih ringan, seolah ada beban yang sedikit demi sedikit terangkat.
Entah dari mana kekuatan itu datang, aku membuka kembali mushaf yang lama terdiam di rak. Aku memulai membaca Surah Al-Baqarah, walau hanya lima ayat per hari. Tapi ayat-ayat itu seperti pelita. Ada pesan, teguran, sekaligus harapan yang kutemukan dalam setiap lembarannya.
Ada satu ayat yang sangat menamparku:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Aku menangis saat membacanya. Ternyata Allah tidak pernah meninggalkanku. Aku saja yang terlalu jauh menjauh.
Hari demi hari, aku mulai merasakan perubahan. Bukan perubahan besar, tapi cukup untuk membuatku bertahan. Hatiku mulai tenang, pikiranku lebih jernih, dan harapanku perlahan tumbuh kembali.
Kini, Tahajud bukan lagi pelarian, tapi kebutuhan. Istighfar bukan lagi kebiasaan, tapi penyembuh. Dan Al-Baqarah bukan lagi lembaran panjang yang melelahkan, tapi sahabat yang menuntunku pulang.
Aku masih NM yang sama. Tapi hatiku bukan yang dulu lagi.
Editor : Muhammad Arya