Efisiensi Anggaran: Untung Bagi Rakyat, Rugi Bagi Birokrat. Oleh: Kiagus Bambang Utoyo *)

0

nataragung.id – LAMPUNG SELATAN – Di negeri yang katanya kaya sumber daya, rakyat justru harus paling pandai berhemat. Mereka menghitung uang belanja seperti menakar bensin terakhir di tengah jalan sepi. Sementara itu, dari ruang-ruang dingin ber-AC, para pemegang kebijakan berbicara soal efisiensi anggaran dengan wajah serius—penuh grafik, target, dan janji. Tapi rakyat kecil tak lagi percaya pada angka. Mereka percaya pada harga di pasar, tagihan listrik, dan isi piring makan.

Dalam banyak diskusi anggaran pemerintah, istilah “efisiensi” terdengar seperti mantra suci. Diumandangkan oleh pejabat, dibacakan dalam pidato, dikutip dalam laporan kinerja kementerian. Katanya demi rakyat, demi efektivitas, demi hasil. Tapi bagi kami yang hidup di bawah, efisiensi lebih mirip seperti urusan dagang: dibicarakan untung-ruginya, dihitung laba-ruginya, tapi hasilnya—rakyat tetap di jalan buntu. Jalan berlubang, sekolah rusak, harga bahan pokok naik tanpa aba-aba.

Mari bicara jujur. Apa sebenarnya untungnya efisiensi anggaran bagi rakyat? Jika dijalankan benar, tentu sangat besar: anggaran tidak lagi bocor ke proyek fiktif atau perjalanan dinas tanpa hasil; belanja pemerintah lebih tepat sasaran; dan pelayanan publik menjadi lebih cepat, lebih murah, lebih bermutu. Dana yang sebelumnya habis di rapat bisa dialihkan ke sekolah, puskesmas, atau irigasi sawah. Rakyat tidak butuh teori ekonomi makro, cukup bukti nyata di lapangan—bahwa negara peduli pada hidup mereka, bukan hanya pada angka pertumbuhan.

Baca Juga :  Tragedi Gas Melon dan Sebotol Minyak Goreng Gunawan Handoko *)

Namun yang juga penting dan sering luput dari hitungan birokrasi adalah kebutuhan rakyat untuk menjaga stabilitas ekonomi keluarga. Ketika harga kebutuhan pokok—beras, minyak goreng, telur, air bersih—berfluktuasi tanpa kendali, efisiensi anggaran negara belum tentu bisa menyelamatkan dapur keluarga dari krisis. Pendapatan rakyat terus digali, terus dicari, dengan keringat yang tak pernah kering. Tapi harga-harga seperti tak pernah mau diajak berdamai. Tak ada kestabilan di meja makan jika inflasi hanya dikendalikan di statistik, bukan di pasar dan warung harian.

Lebih menyakitkan lagi, ketika rakyat disuruh bersabar dan berhemat, di saat yang sama mereka menyaksikan nilai fantastis pendapatan para elite birokrasi dan pemangku kekuasaan trias politica—eksekutif, legislatif, yudikatif—yang terus naik tiap tahun. Dari gaji pokok, tunjangan kinerja, hingga fasilitas negara yang tak masuk akal bagi standar hidup rakyat biasa. Belum lagi para pebisnis yang mengatur BUMN seperti ladang pribadi: mengantongi bonus miliaran sambil bicara efisiensi di forum-forum bisnis. Sudah waktunya standar gaya hidup para pengelola negara ini direvisi. Gunakanlah standar hidup, bukan gaya hidup. Sebab rakyat sudah terlalu sering menangis tanpa air mata, dipaksa tersenyum puas atas capaian kinerja yang hanya dituliskan dalam angka.

Baca Juga :  Hanya Tinggal Cerita Wayang. Oleh : Gunawan Handoko *)

Mungkin juga sudah saatnya kita memfilter ulang seluruh bentuk kerja sama luar negeri. Tanpa banyak alasan, sebagian kerja sama itu telah menjadi boomerang ekonomi—menyebabkan tergadainya sumber daya alam strategis, menumpukkan hutang luar negeri yang kian tak terbilang, dan menyerahkan kontrol pada kekuatan asing. Semua ini terjadi karena tidak adanya kualitas SDM yang mumpuni untuk menjadi penjaga kepentingan bangsa. Ironisnya, ribuan akademisi dalam negeri—yang setiap tahunnya lahir dari universitas negeri maupun swasta—gagal menjelma menjadi fondasi kebijakan yang berdaulat. Ilmu hanya sampai di seminar dan jurnal, bukan di meja pengambilan keputusan.

Efisiensi anggaran yang baik seharusnya menjaga hal yang paling dasar itu: jaminan hidup yang tenang bagi rakyat kecil. Bahwa dengan pendapatan terbatas, mereka tetap bisa makan cukup, menyekolahkan anak, dan berobat saat sakit. Ini bukan kemewahan. Ini keadilan.

Namun sebaliknya, efisiensi dianggap “rugi” oleh sebagian birokrat. Kenapa? Karena belanja rutin yang dulu longgar kini diketatkan. Honor rapat dikurangi. Perjalanan dinas dibatasi. Lembur tak lagi otomatis cair. Banyak “kenyamanan” birokrasi yang mulai ditantang oleh logika efektivitas. Maka tak heran jika sebagian kalangan melawan secara halus: mempersulit eksekusi, memperlambat realisasi, atau mencari celah baru untuk pemborosan yang lebih rapi.

Baca Juga :  Ramadan, Antara Ibadah Pribadi dan Sosial. Oleh : Gunawan Handoko *)

Sementara itu, di ujung-ujung kampung, rakyat harus tetap bertahan di level ekonomi terbawah. Mereka berhemat bukan karena prinsip efisiensi, tapi karena terpaksa. Mereka tak punya opsi lain. Pedagang kecil menambal modal dengan utang. Buruh tani hidup dari panen ke panen. Nelayan berdoa agar laut tidak marah.

Jika efisiensi hanya menjadi jargon, maka sesungguhnya itu hanyalah penghematan semu yang tidak menyentuh akar persoalan. Tapi jika dilakukan dengan niat tulus dan keberanian melawan kenyamanan status quo, maka efisiensi anggaran bisa menjadi bentuk cinta negara pada rakyatnya.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya: untuk siapa sebenarnya anggaran negara itu dibuat? Untuk pembangunan yang bisa difoto, atau untuk kehidupan rakyat yang benar-benar berubah ? (**)

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, tinggal di Sidomulyo – Lampung Selatan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini