nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Soeharto ketika pertama di lantik sebagai Presiden tahun 1968 umur nya baru 47 tahun, masih sangat muda dan idealismenya sedang tinggi-tingginya.
Awal ’70 an Presiden Soeharto di temani tim kecil dan senyap menggunakan mobil sengaja keluar masuk desa-desa ingin tau sendiri bagaimana kondisi rakyat yang dipimpinnya.
Di awali berangkat dari Gedung Agung di Jogjakarta, Soeharto keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, rata-rata kepala desa yang tempatnya dialog di balai desa, latar belakangnya TNI AD, banyak cerita lucu dan indah yang mengiringinya, ketika sampai ujung Jawa Timur di Banyuwangi staf presiden Soeharto berbisik “Pak kita sampai Banyuwangi, di sini asal lagu genjer-genjer PKI,”
“Sayur genjer sehatkan mata,” jawab Pak Harto sambil ketawa.
Presiden Soeharto dalam rangka penghematan tidak membolehkan para pejabat yang adakan hajatan undang tamu yg banyak, tidak boleh lebih dari 200 org.
Cerita tentang pemerintahan Presiden Soeharto awal-awal tahun ’70 an enak di dengar.
Namun se iring dengan putra-putri nya semakin besar cerita-cerita negatif berkaitan dengan issue KKN di sekitar keluarga Cendana semakin jadi buah bibir para mahasiswa dan aktifis, semakin ke sini baunya semakin tajam dan tidak sedap dan ujungnya Soeharto sudah di samakan dengan Marcos Pemimpin diktator Filipina yang di gulingkan rakyatnya.
Peribahasa hangat-hangat tahi ayam adalah kesimpulan dari cerita awal kepemimpinan presiden Soeharto thn ’70 an yang hendaknya jadi pelajaran bagi Presiden Prabowo bekas menantu sang diktator Soeharto, agar programnya konsisten membela rakyat dari yang strata sosialnya terendah, para pemulung, pekerja buruh serabutan, penjual makanan pinggir jalan, tukang ojek, tukang becak, guru dan pegawai honorer.
PHK massal tenaga honorer, antrian rakyat beli gas melon, penghentian bantuan beras untuk orang miskin yang sekarang terjadi adalah sedikit catatan yang timbulkan tanda tanya di tengah-tengah masyarakat akan di bawa kemana sesungguhnya kapal besar ini oleh Presiden Prabowo.
Biarkanlah, kelak sejarah akan menjawabnya.
*) Penulis adalah Mutasyar PW NU Provinsi Lampung, tinggal di Bandar Lampung.