Memetik Tradisi Ramadhan dari Tanah Suci. Oleh : Gunawan Handoko *)

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Wajah kota Madinah dan Makkah tidak berubah, biasa saja. Bahkan selembar spanduk atau baleho untuk menyambut hadirnya bulan Ramadhan pun tidak terlihat. Tidak ada tradisi masyarakat untuk ‘ngabuburit’ atau jalan-jalan di sore hari untuk sekedar menunggu saat maghrib tiba. Penjual makanan atau jajanan takjil pun tidak terlihat di kedua kota ini. Pendek kata, jauh berbeda dengan suasana di berbagai kota di Tanah Air yang nampak meriah dan hingar bingar setiap kali memasuki bulan Ramadhan. Spanduk dan baliho bertebaran dimana-mana. Apalagi bila bulan Ramadhan bersamaan dengan akan dilaksanakannya pemilihan umum, dipastikan di setiap sudut akan dipenuhi dengan spanduk berikut gambar calon.

Lantas kemana penduduk kota Makkah dan Madinah, apa saja yang mereka lakukan di bulan suci Ramadhan? Saya ingin berkisah sedikit tentang kegiatan yang dilakukan penduduk kota, khususnya di Madinah dengan harapan semoga sekelumit kisah ini akan membangkitkan semangat dan rasa penasaran setiap umat muslim untuk menyegerakan niatnya bertamu ke Baitullah di bulan Ramadhan.

Selain untuk memenuhi panggilan Allah, sekaligus untuk merasakan langsung seperti apa ujud persaudaraan Islam, keikhlasan untuk berbagi dan suasana harmoni di bulan Ramadhan. Dari pengalaman menunaikan ibadah puasa Ramadhan di kota Madinah Al Munawarah dan melaksanakan rangkaian ibadah di masjid Nabawi sungguh merupakan sebuah pengalaman rohani yang tidak pernah akan terlupakan oleh siapa saja yang pernah menjalaninya.

Di kota Madinah dan juga Makkah, seorang muslim akan merasakan ibadah puasa yang sesungguhnya, bukan sekedar menahan rasa haus dan dahaga. Kelak setiap bertemu dengan bulan Ramadhan, kerinduan akan suasana harmoni di Tanah Suci kembali hadir dengan sambutan derai air mata.

Baca Juga :  Metode Yang di Pergunakan Oleh Ormas Islam dan Pemerintah Dalam Menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Oleh : H. SyahidanMh *)

Meski hanya 5 hari di kota Madinah sudah cukup dijadikan referensi gambaran tentang kehidupan masyarakat disana secara keseluruhan. Di bulan Ramadhan warga kota Madinah yang berkecukupan datang ramai-ramai berkelompok dengan membawa hidangan untuk berbuka dengan sasaran utama di masjid Nabawi.

Begitu shalat Ashar selesai, dengan cekatan mereka menggelar alas plastik yang dibentang memanjang hingga puluhan meter, lalu menata makanan dan minuman diatasnya. Sementara beberapa pemuda yang tidak ikut menata makanan, bertugas seperti layaknya panitia penerima tamu hajatan, menyambut dengan hangat setiap jama’ah yang melintas agar mau singgah di tempat yang sudah disiapkan. Dengan tersenyum ramah, para pemuda itu akan memeluk setiap orang yang bersedia memenuhi ajakannya tanpa membedakan warna kulit dan darimana negara asal.

Sesekali terlihat anak muda tersebut menggandeng dan memapah jama’ah yang lanjut usia, layaknya sikap anak terhadap ayah kandungnya. Dari wajah para penderma terpancar rasa bahagia apabila banyak jama’ah yang berkenan masuk di lapak mereka. Sampai hal-hal kecil seperti membagikan kantong plastik pembungkus sendal atau sepatu, kertas tissue, semua dilakukan dengan cuma-cuma.

Mereka sungguh-sungguh ingin memuliakan orang yang sedang berpuasa. Pendek kata, para jama’ah diperlakukan layaknya tamu agung. Hanya saja terkadang ada jama’ah yang bersikap kurang menyenangkan. Berjalan mondar-mandir dari lapak satu ke lapak yang lain sambil melihat-lihat menu yang disediakan. Padahal menu yang disajikan hampir sama, yakni makanan dan minuman khas disana.

Dari petugas kebersihan masjid Nabawi asal Indonesia, saya diberi tahu nama-nama hidangan tersebut, ada minuman sahi dan gahwa, yakni teh dan kopi khas Arab. Lalu rutab (kurma muda) yang super manis, ada tamis atau roti yang terbuat dari gandum serta laban (sejenis yogurt) yang dicampur dengan bumbu untuk cocolan roti tamis tadi. Meski terasa asing di lidah, tapi tetap saja terasa nikmat untuk disantap. Selain faktor haus dan lapar, juga didorong suasana harmoni yang tercipta. Hampir semua jama’ah (kecuali yang sakit dan berhalangan) tidak ada yang berbuka puasa di hotel tempat menginap, karena setelah acara berbuka selesai akan langsung melaksanakan shalat Maghrib, dilanjutkan shalat Isha dan shalat Tarawih.

Baca Juga :  Hanya Tinggal Cerita Wayang. Oleh : Gunawan Handoko *)

Pemandangan yang ada di Madinah juga terjadi di Makkah, bahkan jumlah dermawan lebih banyak dibanding kota Madinah. Bedanya, di Madinah lebih tertib dan bersih. Yang pasti para dermawan disana seolah sedang berlomba-lomba menggapai ridho Allah. Di saat seperti ini sekat-sekat status sosial akan luntur dan perbedaan warna kulit serta perbedaan apapun akan hilang. Yang ada hanyalah rasa kesetiakawanan dan solidaritas sesama umat muslim. Apa yang dilakukan umat muslim di kedua kota tersebut telah menyadarkan diri saya (dan mungkin juga Anda) yang masih sering beranggapan bahwa harta yang kita miliki merupakan hasil jerih payah diri pribadi, tanpa adanya campur tangan Allah.

Meski firman Allah sudah sangat jelas bahwa harta yang ada diri kita merupakan titipan Allah, agar dibelanjakan sesuai tuntunan Allah, tapi belum mampu mengusir sikap kikir dan bakhil serta ego yang bersemayam dihati ini. Celakanya lagi, sikap kikir ini justru menular kepada sebagian pengurus masjid. Meski sesungguhnya para pengurus masjid sangat paham orang yang berinfaq tentu mengharap agar uang tersebut segera disalurkan agar berbuah pahala. Dengan menyimpan uang infaq sama halnya dengan menunda pahala bagi orang lain. Artinya uang yang ada di kas masjid tersebut adalah milik umat yang dititipkan di masjid agar dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Namun pada kenyataannya tidak sedikit pengurus masjid tanpa alasan yang jelas memilih untuk menyimpannya daripada mengeluarkan untuk menanggulangi berbagai permasalahan sosial yang dialami kaum du’afa, atau kegiatan syi’ar lainnya seperti berbuka puasa bersama selama bulan Ramadhan. Masih ada yang beranggapan bahwa buka puasa bersama di masjid hanya sekedar tradisi, maka cukup diselenggarakan sekali atau dua kali saja selama Ramadhan. Untuk hari-hari selebihnya dimintakan sumbangsih dari masyarakat, dengan dalih untuk memberi kesempatan bagi masyarakat untuk bersedekah.

Baca Juga :  POLITIK BANTING PINTU. Oleh : Budi Setiawan

Harus dipahami bahwa menyelenggarakan buka puasa bersama di masjid bukan sekedar tradisi, namun sebagai simbol kasih sayang, rasa toleransi dan kepedulian. Selain dapat menumbuhkan dan memperkuat keimanan, juga dapat menumbuhkan rasa simpati masyarakat terhadap keberadaan masjid. Dengan tumbuhnya rasa simpati tersebut akan menggerakkan hati seorang muslim untuk datang dan memakmurkan masjid. Karena pada dasarnya fungsi masjid bukan hanya sebagai ubuddiyah atau tempat peribadatan bagi kaum muslim, namun juga tempat kegiatan sosial kemasyarakatan atau ijtimaiyyah, termasuk pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan kata lain, masjid berfungsi untuk memberi dan melayani umat.

Semoga Ramadhan tahun ini dapat menghantarkan kita untuk menggapai maqom tertinggi dihadapan-Nya sebagai hamba yang menyandang derajat muttaqin.
Marhaban Ya Ramadhan.

*) Penulis adalah jama’ah masjid Al-Mu’awwanah Gedong Meneng kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini