nataragung.id, Natar – Setiap bulan Ramadan, masjid-masjid di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dipenuhi oleh jamaah yang melaksanakan salat tarawih. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah dan variasi praktik ibadah ini berkembang dari masa ke masa? Mari kita telusuri perjalanan salat tarawih yang mungkin belum banyak diketahui.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, salat malam di bulan Ramadan dikenal sebagai Qiyam Ramadan. Rasulullah SAW melaksanakan salat ini baik secara individu maupun berjamaah. Dikisahkan bahwa pada suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah SAW melaksanakan salat malam di masjid, dan beberapa sahabat bergabung untuk salat bersama beliau. Pada malam berikutnya, jumlah jamaah semakin bertambah. Namun, pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid untuk salat malam. Keesokan harinya, beliau menjelaskan bahwa ketidakhadirannya bukan karena tidak ingin salat bersama mereka, tetapi karena khawatir salat tersebut akan diwajibkan bagi umatnya, yang mungkin memberatkan mereka. Oleh karena itu, beliau lebih sering melaksanakan salat malam di rumah, meskipun sesekali tetap melaksanakannya di masjid.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, umat Islam melaksanakan salat tarawih secara individu atau dalam kelompok-kelompok kecil tanpa imam tetap. Situasi ini berlangsung hingga masa Khalifah Umar bin Khattab. Melihat umat Islam salat secara terpisah-pisah, Umar bin Khattab mengumpulkan mereka untuk melaksanakan salat tarawih secara berjamaah dengan menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam. Jumlah rakaat yang dilaksanakan saat itu adalah 20 rakaat, yang kemudian menjadi praktik umum di kalangan umat Islam.
Seiring berjalannya waktu, praktik salat tarawih mengalami variasi dalam jumlah rakaat dan tata cara pelaksanaannya di berbagai wilayah. Dalam tradisi empat mazhab utama Islam, terdapat perbedaan dalam jumlah rakaat salat tarawih:
Menurut Imam Hanafi, disunnahkan melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat, yang dibagi menjadi lima tarawih (istirahat), setiap istirahat terdiri dari dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Terdapat beberapa riwayat mengenai jumlah rakaat salat tarawih. Beberapa riwayat menyebutkan 36 rakaat, sementara riwayat lain menyebutkan 11 atau 23 rakaat. Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa witir. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa salat malam bulan Ramadan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di Madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di Makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Imam Hanbali menjelaskan bahwa salat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni salat tarawih. Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia salat bersama mereka 20 rakaat.
Di Indonesia, praktik salat tarawih menunjukkan variasi yang mencerminkan keragaman organisasi dan pemahaman keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) biasanya melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah 3 rakaat salat witir. Praktik ini mengikuti tradisi yang berkembang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Sementara itu, Muhammadiyah cenderung melaksanakan salat tarawih sebanyak 8 rakaat ditambah 3 rakaat salat witir. Jumlah ini didasarkan pada beberapa hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan salat malam lebih dari 11 rakaat, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan.
Dalam tradisi Syiah, salat tarawih tidak dikenal sebagaimana dalam tradisi Sunni. Muslim Syiah tetap melakukan salat sunah malam di bulan Ramadan, namun tidak dilakukan secara berjemaah. Hal ini karena mereka ingin mengikuti tradisi yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, yang lebih sering melaksanakan salat malam di rumah. Dalam riwayat Syiah, Imam Ja’far Al-Shadiq mengatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan salat sunah di malam Ramadan sebanyak 20 rakaat pada 20 malam pertama, 30 rakaat pada 10 malam terakhir; dan pada malam ke-21 dan ke-23, beliau menunaikan salat sunah 100 rakaat.
Sejarah salat tarawih menunjukkan perkembangan yang dinamis sejak masa Rasulullah SAW hingga saat ini. Variasi dalam jumlah rakaat dan tata cara pelaksanaannya mencerminkan kekayaan tradisi dan pemahaman keagamaan di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Perbedaan ini seharusnya dipandang sebagai rahmat yang menambah kekayaan khazanah praktik ibadah umat Islam, selama esensi dan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tetap terjaga.
Artikel ini disusun ulang dari berbagai sumber oleh : wahyuagungpp (jamaah mushola Nurul Fattah, Bumisari, Natar, Lampung Selatan)