nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Akhirnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengambil keputusan dengan mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan diberlakukan pada penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025/2026.
Menteri Dikdasmen Profesor Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa SPMB sebagai upaya untuk merespon dari suara-suara publik yang menginginkan agar sistem zonasi ditiadakan. Kemudian sistem zonasi yang selama ini menuai kontroversi akan diganti dengan sistem domisili.
Kartu Keluarga (KK) yang selama ini cukup ampuh untuk menembus benteng sekolah, tidak lagi menjadi persyaratan utama dalam penerimaan siswa baru. SPMB bertujuan untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Apa yang dilakukan Kemendikdasmen dengan melakukan perombakan sistem dari zonasi menjadi domisili tentu bukan sekedar mengubah istilah atau singkatan.
Memang, secara sepintas istilah keduanya hampir sama, dengan penekanan pada jarak antara rumah calon peserta didik dengan lokasi sekolah. Hanya saja istilah domisili lebih mempertegas bahwa prioritas utama dalam kebijakan pendidikan adalah upaya pemerataan. Maka hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah keketatan dalam seleksi, yakni integritas tim penyeleksi, akuntabilitas informasi calon murid baru dan peningkatan kualitas sekolah. Karena para calon siswa tidak lagi bergantung dengan KK, melainkan domisili jarak terdekat dengan sekolah, berarti perlu di dukung dengan surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa.
Jika selama ini bentuk kecurangan berupa pemalsuan data calon siswa dengan mendompleng atau dititipkan pada KK milik saudaranya atau orang lain, maka kecurangan juga bisa terjadi dalam penerbitan surat keterangan domisili. Masalah kecurangan perlu diantisipasi sejak awal dengan memberikan sosialisasi kepada orang tua, masyarakat dan sekolah-sekolah, bahwa tidak boleh melakukan manipulasi domisili, prestasi dan data lainnya berikut bentuk sanksi yang akan dijatuhkan. Hal lain, mekanisme verifikasi domisili harus lebih diperkuat dan dilakukan sungguh-sungguh agar prinsip keadilan tetap terjaga.
Jalur domisili merupakan langkah strategis untuk memastikan akses pendidikan yang lebih merata, adil dan transparan. Maka perlu ada kejujuran secara kolektif dan pengawasan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya.
Jujur harus diakui bahwa sistem zonasi yang diterapkan selama ini lebih bertujuan untuk membuka kesempatan kepada para siswa agar bisa bersekolah, walau prestasinya pas-pasan bahkan kurang. Sebodoh apapun calon siswa, selagi rumahnya berdekatan dengan sekolah maka wajib untuk diterima. Sementara bagi anak-anak yang berprestasi tapi harus gagal di sekolah yang diinginkan karena prosentasi jalur prestasi telah habis, tentu akan merasa diperlakukan tidak adil. Akibatnya bukan hanya guru yang merasa kesulitan dalam mengajar, bagi siswa pun akan menjadi beban berat karena tidak mampu untuk mengikuti pelajaran sesuai standar yang diterapkan di sekolah tersebut, terutama sekolah yang menyandang predikat favorit.
Dalam SPMB, selain terfokus pada penerimaan siswa dengan sistem domisili, juga disediakan jalur prestasi. Bukan hanya ditujukan bagi siswa yang memiliki prestasi akademik, tetapi juga bagi siswa prestasi non- akademik. Terbukanya peluang bagi siswa berprestasi di bidang non-akademik secara signifikan akan ikut mendorong semangat para siswa dalam meningkatkan kualitas melalui berbagai kegiatan yang berfungsi mengasah keterampilannya. Paradigma lama bahwa lembaga sekolah hanya untuk mengasah nilai akademik akan terbantahkan.
Hari ini kita melihat bahwa sistem pendidikan sedang mengarah kepada perbaikan dan pembangunan suprastruktur yang lebih mapan sebagai upaya untuk mencetak generasi yang memiliki kapasitas unggul. Dampak positif lainnya, akan menghadirkan penguatan nilai-nilai keadilan dan inklusivitas. Proses penerimaan yang terbuka dan transparan akan meningkatkan kepercayaan diri bagi siswa. Hal lain, jalur afirmasi yang tersedia menjadi bukti komitmen
Pemerintah dalam menjalankan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah hak semua, tanpa memandang status sosial maupun jabatan. Dengan memberi kesempatan yang sama bagi keluarga kurang mampu atau penyandang disabilitas, maka akan memperkuat nilai keadilan bahkan inklusivitas. Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, karut marutnya sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) tidak terlepas adanya campur tangan atau tekanan pemegang kekuasaan atau penentu kebijakan. Budaya titip-menitip sering terjadi yang membuat pihak sekolah menjadi tidak berdaya.
Dengan dihapusnya sistem zonasi tentu menjadi tugas berat bagi para orang tua, khususnya yang bertempat tinggal dekat sekolah, untuk memberi semangat dan mem-push putera-puterinya agar mendapatkan angka-angka dan prestasi yang baik agar dapat mencapai sekolah yang diinginkan.
Hal penting yang perlu di ingat, bahwa sampai saat ini masalah dikotomi antara sekolah negeri dan swasta selalu saja muncul dan menjadi realitas yang sulit dihapuskan. Anggapan masyarakat bahwa sekolah negeri lebih unggul, lebih berkualitas dan ‘lebih murah’ masih melekat dan menjadi pandangan umum. Sementara sekolah swasta selalu di pandang sebagai ‘nomor dua’, selain mahal biayanya.
Fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa mengikuti seleksi ke sekolah swasta menjadi alternatif ke dua setelah gagal menembus benteng sekolah negeri. Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya benar, karena saat ini banyak sekolah swasta dari tingkat dasar sampai menengah atas memiliki kualitas dan mutu yang baik, terbukti dengan banyaknya lulusan yang mampu menembus benteng Perguruan Tinggi Negeri. Menuntut ilmu tidak harus di sekolah negeri, maka tidak perlu harus rame-rame menyerbu berebut bangku sekolah negeri.
*) Penulis adalah Ketua KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia) Provinsi Lampung