nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Rasanya tidak perlu merasa takut atau ragu untuk menarik kesimpulan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia saat ini telah putus asa dan kehilangan harapan terhadap berbagai upaya pemberantasan korupsi. Dulu, ketika arus reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, semua berharap bahwa korupsi (termasuk kolusi dan nepotisme) akan berakhir, karena reformasi disusun dengan anti KKN. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sekarang KKN semakin gila, korupsi tumbuh semakin subur dan merata di level eksekutif, yudikatif dan jajaran elite partai politik.
Di awal Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, rakyat dikejutkan dengan kasus korupsi di PT. Pertamina yang melibatkan para pejabatnya dan broker. Skandal korupsi paling besar sepanjang sejarah, dengan perkiraan kerugian mencapai Rp. 968,5 triliun. Pihak Kejaksaan Agung awalnya menyebut kerugian negara ’hanya’ sebesar Rp. 193,7 triliun pada tahun 2023. Bukan hanya di tubuh PT. Pertamina saja yang terjadi perampokan, tapi juga di lembaga lain seperti PT. Timah, BLBI, Duta Palma dan merambah ke tubuh Asuransi.
Sebagai ungkapan rasa frustasi masyarakat yang hatinya tercabik-cabik, sampai muncul kritik satire di media sosial berupa klasemen Liga Korupsi Indonesia disertai urutannya. Kritik satire tersebut bukan sekedar lucu-lucuan, tapi harus dilihat sebagai persoalan serius bahwa di negeri ini ada persoalan akut dalam konteks pemberantasan korupsi. Juga sebagai bentuk rasa muak masyarakat atas kondisi korupsi yang semakin menggila. Bayangkan, ratusan triliun uang negara yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, justru menjadi bancakan para koruptor.
Di sisi lain Pemerintah terkesan tidak serius untuk menuntaskan persoalan korupsi yang sudah sangat parah ini. Salah satu bukti paling mencolok adalah berhentinya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Padahal jika RUU ini disahkan, instrumen hukumnya dapat menjadi senjata ampuh untuk memiskinkan para koruptor dan menarik kembali aset negara yang sudah mereka rampok. Jika memang negara serius dalam pemberantasan korupsi seperti yang dijanjikan Presiden RI Prabowo Subianto, maka RUU Perampasan Aset merupakan strategi jitu dalam memperkuat sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada 3 aspek utama dalam pemberantasan korupsi, yakni pencegahan, penindakan dan pemulangan aset yang dikorupsi. Rakyat tentu berharap agar pemberantasan korupsi bukan sekedar lip service atau pernyataan politik Presiden Prabowo Subianto, tapi harus dibarengi dengan upaya tindakan hukum yang nyata. Andai saja korupsi dilakukan secara perorangan, dampak yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Tetapi karena berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif sehingga kerugian negara menjadi sangat besar.
Di negeri ini korupsi sudah dianggap sebagai budaya dan bagian dari romantika kekuasaan. Bahkan, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang ’dibutuhkan’ sebagai modal untuk meraih posisi atau tujuan tertentu. Karena sudah menjadi tradisi dan budaya serta kebiasaan, walau jelas-jelas merugikan keuangan negara, tapi korupsi tidak dianggap sebagai penyakit yang membahayakan.
Frustasi masyarakat semakin membesar ketika menyaksikan lemahnya penegakan hukum dalam menghadapi korupsi yang sudah membudaya ini. Integritas penegak hukum rendah dan gampang tergoda oleh uang atau politik, sementara peraturan perundang-undangan yang ada sering dilanggar dan diabaikan. Di level daerah seperti Lampung misalnya, banyak penanganan dugaan tindak pidana korupsi yang mandek di Kejaksaan Tinggi seperti kasus dugaan korupsi hibah KONI Lampung tahun 2020, dugaan korupsi Perjalanan Dinas DPRD kabupaten Tanggamus tahun 2021, pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Way Rilau tahun 2019, serta dugaan korupsi PT. Lampung Energi Berjaya (LEB) tahun 2022. Dan masih banyak kasus lain yang saat ini dalam penanganan Kejati Lampung tapi mangkrak.
Inilah potret buruk yang masih menjadi tontonan masyarakat kita, dimana para pejabat pelaku korupsi bisa merasa aman dan nyaman. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan hukum untuk bersembunyi dari perbuatan tercelanya. Hanya orang yang gila beneran yang tidak frustrasi menyaksikan hal-hal semacam itu terjadi di depan mata, sementara rakyat cukup disuguhi dengan gelaran pasar murah untuk sedikit meringankan beban hidup di bulan Ramadhan dan menjelang perayaan Idul Fitri.
Dalam sejarah pergerakan bangsa, frustasi massal akan melahirkan gerakan perlawanan, cepat atau lambat. Perlawanan publik tidak mesti melalui demonstrasi atau aksi massa yang hanya terlihat heboh di halaman media sosial. Bisa saja rakyat melakukan ’boikot’ terhadap kewajiban membayar pajak atau kewajiban yang lain, karena hanya akan memperkaya para koruptor. Rakyat masih menunggu komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil terhadap pelaku korupsi. Vonis yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
*) Penulis adalah Aktifis LSM PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan), Wilayah Lampung.