nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Ibaratnya lebih bermutu hasil menuntut ilmu di kuliah subuh, di banding kuliah di kampus tapi tidak di iringi dengan membaca buku-buku literatur tambahan.
Ada kisah, ketika Gus Dur sedang berada di Amerika Serikat mengunjungi Cak Nur teman satu daerah (Jombang), seorang tokoh mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah S3 di Amerika Serikat. Sebagai sesama orang berbasis intelektual dan aktifis setelah ketemu mereka berdiskusi.
” Bgmn pendapat Gus Dur tentang masalah ini,” kata Cak Nur sambil menunjukkan sebuah buku.
Alih-alih menjawab, Gus Dur justru balik bertanya. “Sudah berapa buku yg sampean baca tentang masalah itu?.” Baru satu buku ini” jawab Cak Nur.”
“Saya sudah baca lima buku tentang masalah itu” jawab singkat Gus Dur.”
Belakangan ini publik di kagetkan dengan adanya berita gelar Doktor menteri Bahlil di batalkan oleh UI karena tidak memenuhi syarat dan adanya pelanggaran dalam proses mendapatkan gelar doktor itu, salah satu nya terlalu cepat prosesnya.
Ramai-ramainya orang mencari gelar dan sertifikat pelatihan haruslah menjadi evaluasi para pemikir bangsa, apakah kita ini sedang mengejar kulit atau isinya. Tentu jawaban idealnya ya kulit ya isi. Namun kalau terpaksa, minimal dapat isinya (ilmu nya) dari pada hanya dapat gelar atau sertifikat sedangkan isinya minim.
Di kalangan pemuda Katolik ada pelatihan “Khasebul” yg di asuh oleh Pastor Pater Beek SJ , di mana pelatihan itu betul-betul menekankan isi di banding kulitnya, jangankan sertifikat, nama peserta pun semua di ganti supaya peserta fokus ke substansi materi bukan ke kulit nya.
Banyaknya anak muda yang kerja di Taiwan Jepang Korea Hongkong selain karena langkanya lapangan pekerjaan di dalam negeri juga belum nyambungnya antara ilmu yang mereka pelajari di sekolahan dengan tantangan lapangan pekerjaan yg ada.
Di sinilah urgensinya para kaum terpelajar mulai serius dengan isi dan melawan gerakan-gerakan yang hanya mengejar kulit untuk sekedar baju dan kepentingan pragmatis semata.
Pragmatisme yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang meliputi segala aspek kehidupan (ekonomi politik sosial budaya) menjadi tanda kemunduran peradaban sebuah bangsa. (**).
*) Penulis adalah Aktifis NU, tinggal di Bandar Lampung.