Sekolah Rakyat, Antara Harapan dan Impian. Oleh Gunawan Handoko *)

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Salah satu program kerja yang digagas Presiden Prabowo Subianto adalah mendirikan Sekolah Rakyat yang akan dinaungi dan dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Tujuannya untuk menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Mendengar nama Sekolah Rakyat (SR) jadi teringat sejarah di masa penjajahan Belanda dulu yang mendirikan SR untuk melatih rakyat pribumi agar bisa membaca dan menulis. Setelah itu rakyat pribumi dipekerjakan sebagai pegawai rendahan di perusahaan atau kantor. Di masa penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka, SR masih dipertahankan keberadaannya yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1967 hingga sekarang.

Kebetulan penulis sempat mengalami perubahan nama sekolah tersebut. Dengan munculnya kembali nama “SR” tersebut dimungkinkan akan terbentuk stigma baru di kalangan masyarakat berkaitan dengan penamaan tersebut. Namanya kebijakan baru, maka wajar apabila banyak pihak yang mengkritisi dan bertanya-tanya, seperti mengapa yang akan mengelola SR adalah Kementerian Sosial, bukan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah? Bukankah sejak dulu standarisasi pendidikan ada di Kementerian Pendidikan, bukan Kemensos atau Kementerian lainnya? Lalu, nanti gaji gurunya darimana, apakah menjadi tanggungjawab Kemensos atau menempel di Kemendikdasmen.

Bagi Kemensos hal ini akan menjadi problem, karena tupoksinya bukan mengurusi masalah pendidikan. Terlebih yang diajarkan nanti mengikuti standar pendidikan formal Kemendikdasmen, baik kurikulum, tenaga pengajar, standar mutu bahan ajar maupun standar lulusan.
Pertanyaan berikutnya, mengapa harus dibangun sekolah rakyat, bukannya memanfaatkan sekolah yang sudah ada, kemudian digratiskan semuanya. Kita semua tahu bahwa jumlah Sekolah Dasar (SD) saat ini sangat banyak, bahkan ada yang dilakukan penggabungan atau regrouping akibat kekurangan murid. Khawatir nanti banyak sekolah SD yang tutup akibat hadirnya SR tersebut. Maka sesungguhnya program mendirikan SR belum begitu mendesak untuk dilakukan, karena pada kenyataannya masih banyak sekolah konvensional yang mambutuhkan perhatian Pemerintah. Mulai dari bangunan gedung sekolah yang rusak, hingga gaji para guru honorer yang masih memprihatinkan. Banyak pertimbangan yang perlu dikaji ulang untuk merealisasikannya. Bukan berarti tidak efisien, tapi belum tepat untuk diwujudkan saat ini. Akan lebih baik membenahi dan memperbaiki sistem yang ada untuk disempurnakan. Contoh, selama ini sekolah mendapatkan dana BOS dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika ternyata bantuan tersebut belum mampu untuk memenuhi target, bagaimana jika dana BOS ditingkatkan nilainya, selain memperbaiki kurikulum dan meningkatkan kompetensi guru. Pendidikan di Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah serius, mulai dari kesenjangan akses antara daerah perkotaan dan pedesaan, rendahnya kualitas tenaga pendidik, hingga keterbatasan infrastruktur pendidikan.

Baca Juga :  Menghidupkan Kembali Kearifan Lokal Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Data BPS 2022 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) menurun drastis pada jenjang pendidikan menengah atas, terutama di daerah-daerah terpencil. Dalam situasi seperti ini, SR yang dirancang untuk memberikan akses pendidikan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu dan terpinggirkan terlihat sebagai ide yang relevan. Tetapi apakah kebijakan ini dapat menjawab kompleksitas persoalan pendidikan di Indonesia saat ini? Meski memiliki potensi yang baik, wacana pembangunan SR perlu terus di kaji agar benar-benar efektif untuk kemajuan pendidikan. Apakah pembangunan SR benar-benar sebuah solusi substantif dalam memperkuat SDM Indonesia sesuai dengan visi Asta Cita Pemerintahan Prabowo Subianto? Atau justru sebaliknya, hanya kebijakan populis yang tidak menyentuh akar masalah pendidikan di Indonesia. Apakah Pemerintah benar-benar siap dalam mendukung biaya operasional, menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dan melakukan pemeliharaan infrastuktur? Lebih jauh lagi, SR harus dirancang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional secara integral, bukan entitas yang terpisah. Kolaborasi dengan sekolah formal, Pemerintah Daerah dan sektor swasta menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dan relevansi program ini. Maka jika program SR ini tetap akan dilaksanakan pada tahun ajaran 2025/2026 nanti, maka pengelolaannya tetap dibawah naungan Kemendikdasmen, bukan Kemensos. Diprioritaskan di daerah yang tepat seperti yang memenuhi unsur 3 T (Tertinggal, Terluar dan Termiskin). Kriteria yang dibangun harus jelas seperti apa, karena orinetasinya untuk orang miskin, gratis dan berasrama. Jika ternyata domisili para siswa berada di lingkungan sekolah, berarti tidak perlu diasramakan.

Baca Juga :  Sejarah Bangsa Melayu : Dihilangkan, Dikecilkan, Dijajah Kembali Lewat Narasi. Oleh: Kiagus Bambang Utoyo *)

Pendidikan merupakan hak fundamental setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi, namun dalam realitanya akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi PR besar bagi republik ini. Wacana pembangunan SR yang digagas Kemensos muncul sebagai salah satu solusi untuk menjawab tantangan pendidikan bagi kelompok rentan. Tujuannya untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi, dirancang untuk mencetak agen perubahan dari keluarga miskin, agar dapat mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. SR menyelenggarakan pendidikan jenjang menengah unggulan yang tidak hanya menekankan aspek akademis, tetapi juga mengutamakan pembentukan karakter dan kepribadian luhur. Unggul dalam pemikiran dan unggul dalam karakter. Maka perlu direncanakan dengan matang, tidak perlu tergesa-gesa dalam mewujudkannya.

Baca Juga :  SAATNYA MEMUTUS LINGKARAN "MIKUL DHUWUR MENDEM JERO" (𝘔𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘛𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘋𝘢𝘩𝘭𝘢𝘯 𝘐𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘐𝘫𝘢𝘻𝘢𝘩 𝘑𝘰𝘬𝘰𝘸𝘪) 𝘖𝘭𝘦𝘩 : 𝘏𝘦𝘳𝘳𝘺 𝘛𝘫𝘢𝘩𝘫𝘰𝘯𝘰 *)

*) Penulis adalah : Ketua KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini