Saatnya Belajar Menerima Kritik. Oleh : Gunawan Handoko *)

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kejutan besar dengan membatalkan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang UU ITE pada 25 April 2025. Disebut kejutan besar, karena sebelumnya tidak pernah muncul berita terkait adanya permohonan gugatan atas pasal tersebut yang dinilai dapat membungkam suara rakyat. Lebih mengejutkan lagi, keputusan MK kali ini tidak lagi berpihak kepada kepentingan penguasa, melainkan lebih kepada rakyat. Adalah wajar jika gugatan tersebut sepi dari pemberitaan media, karena penggugatnya bukan tokoh yang biasa tampil di talkshow dan area publik, bahkan namanya pun hanya dikenal di wilayah lokal dan aktivis lingkungan.

Adalah Daniel Frits Maurist Tangkilisan, biasa dipanggil Daniel, warga dari pulau kecil Karimunjawa di kabupaten Jepara Jawa Tengah. Daniel adalah salah satu dari sekian banyak aktivis lingkungan yang sempat dikriminalisasi karena memperjuangkan kelestarian alam di negeri ini. Dirinya sempat ditahan dan dipenjara karena suaranya terlalu nyaring dalam menyampaikan kritik melalui akun Facebooks miliknya terkait dampak limbah tambak udang illegal di Karimunjawa pada Februari 2023. Atas laporan seseorang, Polisi menjemput dan menahannya di Polres Jepara. Usai melewati persidangan, akhirnya Daniel dijatuhi vonis 7 bulan penjara dan denda 5 juta rupiah. UU ITE menjadi jurus jitu untuk menjerat dirinya. Atas vonis tersebut kasus Daniel menjadi viral dan mendatangkan aksi solidaritas masyarakat untuknya, sehingga menjadi bumerang bagi penambak udang illegal di Karimunjawa, hingga akhirnya pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan bandingnya dan Daniel diputus bebas.

Peristiwa itulah yang mendorong Daniel untuk ‘balas dendam’ dan menggugat pasal-pasal karet dalam UU ITE tersebut yang acapkali digunakan untuk menjerat aktivis Lingkungan, termasuk menjerat dirinya. Upaya yag dilakukan Daniel tidak terbatas hanya advokasi isu lingkungan, melainkan meluas pada upaya mempertahankan kebebasan berekspresi dan perlindungan bagi para pembela hak asasi manusia. Meski dilakukan secara diam-diam, ternyata Daniel berhasil menggugat pasal yang sering membuat lidah rakyat terkunci dan jemarinya takut menulis status di facebooks. Tiba-tiba suara dari pinggiran menjadi guntur yang mengguncang pelosok negeri yang bernama Indonesia. Daniel telah membuktikan bahwa suara satu orang bisa mengalahkan kebisingan kuasa.

Baca Juga :  Pemkab Lampung Selatan Gelar Sosialisasi Permendagri 73 Tahun 2020, Wujudkan Tata Kelola Keuangan Desa Yang Akuntabel

Tapi, keputusan MK yang telah mengabulkan gugatan Daniel jangan disambut dengan penuh suka cita dulu, karena hukum di negeri ini seringkali berubah-ubah, sangat tergantung dengan iklim di musim pancaroba. Katanya musim kemarau, tapi tiba-tiba turun hujan deras. Maka putusan MK ini harus dikawal dan dijaga, sama seperti kita menjaga bayi yang ditaruh di pinggir jurang. Apa yang telah diputuskan MK bukan sekedar ketentuan hukum, tapi merupakan senjata sekaligus pelindung bagi masyarakat sipil dalam menjalankan haknya menyampaikan kritik, saran, keluhan dan juga sindiran.

MK juga telah menyisipkan catatan penting, bahwa profesi seperti penulis, jurnalis, peneliti, bahkan aparat hukum tidak boleh lagi ditakut-takuti dengan berbagai pasal multi tafsir. Keputusan MK ini, suka atau tidak suka telah mengantar kita pada cahaya bagi orang-orang yang berani membongkar, mengungkap, menyelidik dan menulis laporan meski tahu akan dibenci dan dimaki.

Tidak bisa dihindarkan bahwa ditengah era digital sekarang ini, ruang maya sudah menjadi medan tempur demokrasi. Dan tanpa batasan yang jelas, medan ini bisa berubah jadi jebakan. Tapi sekarang, dengan adanya keputusan MK ini kita seperti mempunyai satu pagar tembok baru, bahwa hukum bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk melindungi. Bahwa kritik adalah cinta, bukan penghinaan. Bahwa negara tidak perlu anti kritik, cukup anti korupsi saja dulu. Maka, Daniel merupakan ‘pahlawan’ bagi jutaan orang yang pernah ingin bicara tapi memilih diam karena takut. Daniel sudah menyalakan lilin ditengah gelapnya algoritma kekuasaan. Mari terus bicara, karena diam adalah ‘kemewahan’ yang hanya dimiliki mereka yang sudah frustasi dan kehilangan harapan.

Baca Juga :  Apel Hari Santi Nasional 2024 - MAJALAH NATAR AGUNG

Terkait dengan kritik, dalam pertimbangan hukum MK menyebutkan, pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan pasal 27A UU Nomor 1 2024 tersebut merupakan bentuk pengawasan, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga untuk menerapkan pasal tersebut harus mengacu pada ketentuan pasal 310 ayat (1) KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang atau individu. Dengan kata lain, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan, bukan institusi atau lembaga. Lebih jelasnya, Pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024 dengan Pasal 45 ayat (5) yang terkait dengan pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024 merupakan tindak pidana aduan (delik aduan) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya.

Dalam hal ini, kendati badan hukum menjadi korban pencemaran, maka ia tidak dapat menjadi pihak pengadu atau pelapor yang dilakukan melalui media elektronik. Sebab hanya korban (individu) yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum terkait perbuatan pidana terhadap dirinya dan bukan perwakilannya. Jelasnya, MK secara tegas menyatakan bahwa pasal 27A UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik tersebut tidak berlaku bagi institusi pemerintah, badan usaha maupun kelompok masyarakat.

Baca Juga :  Bupati Lampung Selatan Buka Temu Teknis Sistem Pelaporan Penyuluh Pertanian

Maka sudah saatnya bagi para pejabat, baik eksekutuf, legislatif maupun yudikatif untuk belajar menerima kritik, baik yang disampaikan melalui dialog, tulisan maupun unjukrasa. Anggap saja mereka adalah ‘konsultan’ gratis yang dengan sukarela menyampaikan kajiannya, maka perlu diserap dan didengar aspirasinya. Siapa tahu ada hal-hal positif dan benar dan bisa menjadi bahan evaluasi dalam membuat kebijakan ke depan. Terlebih, kritik merupakan kebebasan warga dalam berekspresi yang dilidungi oleh konstitusi, bukan sebuah kejahatan.

Keputusan MK ini sungguh merupakan berita baik bagi masyarakat sipil, sekaligus menghapus rasa ketakutan bahwa selama ini UU ITE seolah-olah dibuat bukan untuk melindungi warga, melainkan melindungi ego yang terlalu rapuh untuk disentuh fakta. Sebelumnya Pasal 27A menjadi senjata pamungkas untuk menjerat siapa saja yang melakukan protes terhadap rusaknya lingkungan akibat keangkuhan manusia terhadap alam dengan melakukan alih fungsi lahan dan unjuk gelar hutan beton dan kaca. Dan keangkuhan tersebut harus dibayar sangat mahal, salah satunya dengan bencana banjir dan tanah longsor.

*) Pemerhati masalah Lingkungan dan Permukiman, tinggal di Bandar Lampung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini