nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Di balik kemeriahan pesta perkawinan adat Lampung, terdapat sebuah tradisi lisan yang sarat makna, yakni berbalas pantun. Tradisi ini bukan sekadar hiburan atau formalitas adat, melainkan bentuk komunikasi halus yang mencerminkan kecerdasan, tata krama, dan keindahan sastra lisan dalam masyarakat Lampung.
Pantun dalam budaya Lampung, dikenal sebagai seloka atau pepantunan, berfungsi sebagai pengantar pesan, sindiran halus, bahkan sebagai penyejuk suasana dalam negosiasi antar keluarga mempelai.
1. Makna dan Fungsi Berbalas Pantun
Tradisi berbalas pantun biasa terjadi dalam prosesi juluk adek (pemberian gelar adat), serah-serahan, atau ijab kabul adat dalam upacara begawi (pernikahan adat). Dalam momen ini, dua pihak keluarga, yakni dari mempelai pria dan wanita, saling melontarkan pantun yang sudah dipersiapkan maupun yang spontan.
Fungsinya antara lain:
* Menyampaikan rasa hormat dan penghargaan satu sama lain.
* Mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan secara halus.
* Menunjukkan kecakapan berbahasa dan keluhuran budi pekerti.
* Mencairkan suasana tegang dalam proses negosiasi.
* Menjaga etika komunikasi, karena pesan-pesan penting disampaikan tanpa menyakiti.
2. Contoh Situasi dalam Kehidupan Sehari-hari.
Di banyak pekon (desa) di Kabupaten Pesawaran dan sekitarnya, tradisi ini masih hidup. Misalnya saat acara pernikahan, ketika rombongan keluarga pria datang ke rumah keluarga perempuan, seorang juru bicara akan membuka percakapan dengan pantun:
βBurung punai terbang ke rawa, Bunga seroja mekar berseri. Kami datang membawa jiwa,
Hendak memetik bunga di taman negeri.β
Pihak keluarga perempuan akan menjawab dengan pantun balasan:
βKalau datang membawa niat,
Sampaikan hajat dengan sopan.
Kami sambut dengan hormat, Asal adat jangan dilanggar jalan.β
Dengan pantun, proses komunikasi menjadi indah, hangat, namun tetap penuh wibawa.
3. Nilai-Nilai yang Terkandung
Berbalas pantun dalam adat Lampung mengandung nilai-nilai luhur, seperti:
* Piβil Pesenggikhi: Menjaga harga diri dan menghormati orang lain.
* Nemui Nyimah: Menyambut tamu dengan ramah.
* Sopan santun: Berbahasa lembut meski dalam negosiasi yang serius.
* Kreativitas berbahasa: Mendorong generasi muda untuk mencintai sastra lisan daerahnya.
4. Pelestarian di Era Modern
Meski generasi muda kini hidup di era digital, banyak komunitas adat dan sanggar budaya Lampung yang aktif melestarikan pantun, bahkan mengemasnya dalam bentuk kompetisi atau pertunjukan seni. Ada pula sekolah-sekolah adat yang mengajarkan anak-anak membuat dan memahami pantun.
Beberapa keluarga adat masih mewajibkan tradisi ini dalam pernikahan sebagai bentuk pelestarian identitas budaya.
5. Penutup: Pantun, Cermin Adat dan Hati
Tradisi berbalas pantun bukan hanya bagian dari acara perkawinan. Ia adalah cermin dari kesantunan, kecerdasan, dan kearifan lokal masyarakat Lampung. Lewat pantun, pesan yang dalam bisa disampaikan dengan cara yang halus dan indah. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap menjadi pengikat nilai-nilai adat, menyatukan dua keluarga, dua hati, dan dua budaya dalam ikatan suci perkawinan.
βPantun bukan sekadar kata,
Tapi petuah dalam balutan rasa.
Dalam adat kami yang mulia,
Pantun hidup sepanjang masa.β
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.