nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Adat istiadat masyarakat Lampung memiliki banyak dimensi yang mencerminkan identitas, solidaritas, dan nilai-nilai spiritual yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu wujudnya yang paling dikenal dan kaya makna adalah tradisi kuliner “seruit.”
Lebih dari sekadar makanan, seruit adalah praktik sosial yang menandai keakraban, gotong royong, serta nilai persatuan dalam masyarakat Lampung. Dalam kebudayaan Lampung, menyantap seruit bukan hanya kegiatan makan, tetapi juga sebuah simbol interaksi sosial yang kuat antara keluarga, tetangga, dan komunitas.
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas seruit sebagai bagian dari adat istiadat masyarakat Lampung yang memiliki peran penting dalam menanamkan nilai sosial, budaya, dan spiritual, serta menjawab relevansi dan tantangan yang dihadapi praktik ini di era modern.
Di tengah kehidupan modern yang makin individualistik, budaya makan bersama seperti seruit menjadi sangat relevan sebagai penyeimbang nilai sosial. Masyarakat urban kini cenderung menjauh dari interaksi sosial yang bersifat kolektif. Makan dilakukan secara cepat, individual, dan tanpa nilai kebersamaan.
Dalam konteks ini, seruit, sebagai budaya makan bersama yang mengedepankan kebersamaan dan kekeluargaan, menawarkan alternatif sosial yang humanis dan menumbuhkan solidaritas antarwarga. Seruit juga menjadi penting dalam mempertahankan identitas budaya lokal di tengah derasnya arus globalisasi.
Budaya makan bukan hanya soal konsumsi, tetapi juga tentang narasi identitas, nilai, dan ingatan kolektif masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan tentang seruit bukan hanya wacana kuliner, melainkan juga diskursus kebudayaan dan persatuan.
Seruit umumnya disajikan dalam acara-acara penting seperti hajatan, pernikahan, syukuran, atau saat panen raya.
Komponen utamanya terdiri dari ikan bakar atau pindang, sambal terasi (kadang dicampur tempoyak), dan lalapan. Yang membedakan seruit dari makanan biasa adalah cara menikmatinya: makan bersama dalam satu wadah atau dalam posisi berdekatan. Hal ini menunjukkan kesetaraan sosial, menghapus batas-batas kelas, dan menguatkan nilai kekeluargaan.
Dalam kehidupan masyarakat Lampung, seruit bukan hanya menu khas, tetapi juga cara membangun keintiman sosial. Misalnya, ketika ada masalah antarwarga, tokoh adat atau sesepuh sering kali mengundang pihak yang berselisih untuk “makan seruit bersama” sebagai bagian dari rekonsiliasi. Ini menegaskan bahwa seruit memiliki nilai spiritual dan simbolik yang dalam: perdamaian, persaudaraan, dan keterbukaan hati.
Kecenderungan generasi muda terhadap budaya lokal seperti seruit masih berada di titik kritis. Di satu sisi, banyak anak muda Lampung yang sudah mulai melupakan nilai-nilai budaya leluhur karena lebih tertarik pada gaya hidup modern dan makanan instan atau internasional.
Seruit dianggap kuno, tidak praktis, atau bahkan tidak “instagramable.” Hal ini diperparah dengan minimnya pengajaran tentang kebudayaan lokal di lingkungan pendidikan formal dan keluarga.
Namun, di sisi lain, muncul juga tren baru di kalangan generasi muda untuk kembali mencari akar budaya. Komunitas kuliner lokal, pelaku UMKM, dan pegiat budaya mulai mengangkat kembali seruit sebagai bagian dari identitas budaya yang layak dibanggakan.
Di media sosial, beberapa influencer dan konten kreator lokal memperkenalkan seruit sebagai “kuliner identitas” yang unik, dengan sentuhan visual modern namun tetap menjaga cita rasa tradisional. Ini adalah peluang penting untuk menghidupkan kembali semangat seruit di kalangan muda.
Salah satu masalah utama dalam pelestarian tradisi seruit adalah marginalisasi nilai-nilai kolektif dalam masyarakat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Tradisi makan bersama digantikan dengan pola hidup instan dan privat. Seruit menjadi kehilangan konteks sosialnya karena diperlakukan hanya sebagai makanan, bukan budaya.
Selain itu, banyak generasi muda yang tidak tahu cara membuat seruit, bahkan tidak tertarik untuk mempelajarinya. Di tengah masyarakat kota, praktik seruit pun makin jarang ditemukan, kecuali di acara formal yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembaga adat. Ini menunjukkan bahwa seruit sebagai budaya persatuan sedang berada di persimpangan antara keberlanjutan dan kepunahan.
Masalah lain juga muncul dari kurangnya dokumentasi dan pelestarian secara sistematis. Pengetahuan tentang seruit lebih banyak bersifat lisan dan tidak terdokumentasi dengan baik. Akibatnya, makna filosofis yang terkandung di dalamnya perlahan menghilang, tergantikan oleh sekadar narasi “makanan khas.”
Saran Strategis :
1. Integrasi Budaya Lokal ke dalam Kurikulum Pendidikan
Sekolah-sekolah di Lampung perlu menyertakan pelajaran tentang budaya lokal, termasuk praktik seruit, tidak hanya dari sisi kuliner tetapi juga nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Pendidikan budaya akan menanamkan kebanggaan dan kesadaran identitas sejak dini.
2. Festival Seruit sebagai Agenda Budaya Tahunan
Pemerintah daerah dapat mengadakan festival tahunan yang menampilkan seruit sebagai simbol kebudayaan dan persatuan. Festival ini tidak hanya memperkenalkan makanan, tetapi juga menyuguhkan cerita, makna, dan praktik sosial di baliknya.
3. Pelatihan UMKM dan Keluarga tentang Seruit
Melibatkan pelaku usaha kecil untuk memproduksi dan mengemas seruit dalam bentuk yang tetap tradisional namun lebih kontekstual dengan zaman bisa menjadi strategi melestarikan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.
4. Kampanye Digital dan Dokumentasi Budaya
Generasi muda yang akrab dengan teknologi harus dilibatkan dalam mendokumentasikan dan mempromosikan budaya seruit melalui media sosial, video dokumenter, dan aplikasi digital. Cerita di balik seruit harus dikemas secara menarik agar mampu bersaing di tengah arus informasi global.
Seruit bukan sekadar makanan khas Lampung, melainkan representasi dari nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual yang mendalam. Ia mengajarkan tentang kebersamaan, etika bermasyarakat, kesetaraan, dan rekonsiliasi.
Di era ketika masyarakat cenderung terfragmentasi secara sosial, seruit hadir sebagai pengingat akan pentingnya persatuan dan kekeluargaan. Oleh karena itu, menjaga tradisi seruit tidak hanya berarti mempertahankan kuliner lokal, tetapi juga melestarikan semangat kebersamaan yang menjadi inti dari jati diri masyarakat Lampung.
Generasi muda dan para pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa nilai-nilai ini tetap hidup dan dinamis di masa kini dan masa depan.
Daftar Pustaka
* Zainal Abidin. (2014). Nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam Kehidupan Masyarakat Lampung. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
* Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. (2020). Pedoman Pelestarian Budaya dan Adat Istiadat Lampung. Bandar Lampung.
* Sari, Y. (2022). “Makanan Tradisional Lampung: Identitas, Simbol, dan Relevansinya dalam Masyarakat Modern.” Jurnal Budaya Nusantara, Vol. 6 No. 2.
* Mustakim, M. (2020). “Seruit dalam Perspektif Budaya Komunal.” Kompasiana.
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.