nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Kenduri di masyarakat Lampung bukan sekadar hajatan, melainkan pranata sosial yang mempraktikkan nilai nemui-nyimah (saling mengunjungi dan menyambut tamu) dan sakai-sambaian (tolong-menolong) sesuai falsafah Kuntara Raja Niti. Dalam acara seperti khitanan, pernikahan, atau tahlilan, masyarakat berkumpul, memperkuat solidaritas, dan merekatkan jaringan sosial.
Riset di Lampung menunjukkan kegiatan kenduri meningkatkan rasa kebersamaan dan kerja bakti—nilai esensial kearifan lokal.
Identitas Kolektif dalam Era Globalisasi.
Di tengah arus globalisasi yang “menggungas” budaya lokal, kenduri menjadi jangkar identitas Lampung. Tradisi berkumpul di rumah, membaca doa bersama (tahlil), dan berbagi makanan lokal, mengembalikan makna kekeluargaan kolektif yang mulai luntur.
Kemdikbud mencatat, kenduri menjadi materi muatan lokal dalam jam praktikum budaya di beberapa SMA di provinsi sebagai bentuk strategi menjaga akar budaya .
Resonansi terhadap Kebijakan Pelestarian Budaya.
Nilai kenduri telah diakui sebagai warisan budaya tak benda. Perda Provinsi Lampung mengenai pelestarian budaya menempatkan kenduri tahlilan dan kenduri pernikahan sebagai elemen wajib dalam pelatihan pemerintah desa, meski sering berjalan seremonial tanpa penguatan kapasitas masyarakat adat.
Kenduri vs Isu Kekinian.
Digitalisasi dan modernisasi telah menyebabkan budaya kenduri mulai dipermak: jadinya hanya konten estetis di media sosial, foto tumpeng dan dekorasi mewah, tanpa menyentuh makna spiritual dan solidaritas asli.
Pariwisata budaya pun kerap mengubah kenduri menjadi tontonan, seperti pengunjung festival mengenakan siger dan atribut adat tapi tanpa pemahaman ritual.
Konflik juga muncul saat hukum negara memaksa sertifikat nikah negara, sedangkan masyarakat menolak kenduri tanpa persetujuan adat, membuka celah sengketa validitas pernikahan adat.
Respons Generasi Muda: Revitalisasi dan Resistensi.
Generasi muda Lampung menyikapi kenduri dengan dua sikap:
1. Revitalisasi kreatif, misalnya komunitas “Lampung Heritage” membuat YouTube tutorial kenduri rendang lada khas Lampung lengkap dengan filosofi ikrar adat.
2. Kritik atas nilai diskriminatif, terutama praktik patriarkal seperti hanya pria yang diminta pidato “penanggung jawab acara” dan ketergantungan pada ulama khusus menyebabkan peminggiran perempuan.
Peran Kenduri dalam Krisis Lingkungan & Agraria.
Di daerah pesisir dan pegunungan, kenduri untuk “tahlil lingkungan” diadakan menghadapi ancaman banjir atau pertambangan; ritual doa dilakukan untuk “menenangkan roh-roh kawasan” dan menguatkan ikatan komunitas.
Namun, seringkali proses pembangunan, seperti jalan tol atau tambang, melupakan keterlibatan lembaga adat dalam persiapan kenduri masyarakat, sehingga konflik ekologis tetap mengemuka. Kenduri kehilangan potensinya sebagai instrumen relasi sosial ekologi yang bermakna.
Instrumen Aktif: Pendidikan, Gender, dan Identitas Etnis.
* Pendidikan: Kenduri masuk dalam modul sekolah muatan lokal—murid belajar cara membuat kuliner kenduri dan artinya, meski sistemik evaluasinya masih rendah efektivitasnya.
* Relasi Gender: Kenduri membentuk ulang peran, lebih banyak perempuan menjadi pelaksana logistik, sedangkan kaum pria mendominasi simbol simbol ritual; hal ini mencerminkan tantangan kesetaraan gender.
* Identitas Etnis: Kenduri memperkuat narasi “suku pesisir dan pepadun,satu jiwa”, mendorong integrasi etnis Lampung sebagaimana lagu daerah “Sang Bumi Ruwa Jurai” menggambarkan persatuan dua suku dalam satu tanah.
Transformasi Kenduri dan Signifikansinya.
Kenduri bukan hanya tradisi seremonial. Ia adalah pranata aktif yang mengatur kehidupan komunitas Lampung: sebagai alat transfer nilai spiritual, alat sosial untuk mediasi konflik, dan sarana politik budaya dalam masyarakat yang terus berubah.
Namun bila kenduri kehilangan makna inti, menjadi tontonan alih-alih ritual, maka prinsip kulturalnya tergoyahkan.
Menjaga Kenduri sebagai Nashih Budaya Aktif.
Kenduri harus terus dihidupkan secara refleksif: dikaitkan pada nilai lama, namun terbuka dikritik, diberdayakan oleh generasi penggiat muda, dan dilindungi oleh kebijakan yang benar-benar partisipatif.
Bila tidak, kenduri hanya jadi ritual kosong, hilang maknanya, malah jadi warisan kosong di wajah adat yang kian tergerus zaman.
Referensi
1. Nengah Nyapur dkk. (2022). Penerapan Muatan Lokal dan Kearifan Lokal Lampung. Kemdikbud. https://repositori.kemdikbud.go.id/13425/1/PENGKAJIAN%20NILAI%20NILAI%20LUHUR%20BUDAYA%20SPIRITUAL%20BANGSA%20DAERAH%20LAMPUNG.pdf?utm_source
2. Thesis PhD: Nilai Sosial dan Keagamaan Kenduri Lampung. UIN Raden Intan 2023. https://repository.radenintan.ac.id/28772/?utm_source
3. Wikipedia: Lampung people & Kenduri. https://en.wikipedia.org/wiki/Lampung_people?utm_source
4. Lagu Daerah Lampung “Sang Bumi Ruwa Jurai”. https://en.wikipedia.org/wiki/Sang_Bumi_Ruwa_Jurai?utm_source
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.