Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin dan Pepadun. SERI 6: Strategi Pelestarian dan Rekomendasi Kebijakan Budaya. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Refleksi dari Seri Penulisan.
Setelah mengurai secara mendalam tentang institusi Penyimbang dalam masyarakat adat Lampung, meliputi asal-usul, struktur sosial, peran sosial-budaya-spiritual, tata cara pengangkatan, hingga tantangan di era modern, tibalah saatnya untuk menyusun refleksi akhir dan strategi konkret pelestarian.

Institusi Penyimbang adalah fondasi dari dua sistem adat utama di Lampung: Sai Batin dan Pepadun. Ia bukan sekadar gelar turun-temurun, melainkan identitas sosial, budaya, dan spiritual yang menjaga harmoni komunitas.
Namun, dalam realitas kontemporer, adat menghadapi ancaman eksistensial. Globalisasi, migrasi, pengaruh nilai luar, dan degradasi pemahaman generasi muda telah mengikis makna simbolik adat.
Maka, dibutuhkan strategi pelestarian dan dukungan kebijakan yang konkret, agar adat tidak hanya dikenang sebagai masa lalu, tetapi tetap hidup sebagai panduan masa kini dan masa depan.

Kesimpulan Umum dari Seluruh Seri.

Seri esai ini menunjukkan bahwa Penyimbang adalah institusi integral dalam masyarakat adat Lampung. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi terjalin dalam sistem nilai dan struktur sosial yang kompleks.

Dalam tradisi Sai Batin, Penyimbang bersifat vertikal dan aristokratik, menekankan garis keturunan dan otoritas spiritual.

Dalam Pepadun, ia bersifat horizontal dan partisipatif, menekankan musyawarah dan pengangkatan melalui begawi adat.
Di balik perbedaan itu, terdapat nilai-nilai yang sama: pi’il-pusanggiri (harga diri), nemui-nyimah (sikap terbuka), sakai-sambaian (kerja sama), dan nengah-nyappur (hidup berdampingan).

Nilai-nilai inilah yang menjadi benang merah seluruh praktik adat, dari struktur kekerabatan hingga ritus spiritual.

Seri ini juga menyoroti dinamika yang dihadapi institusi Penyimbang. Tantangan modern seperti komersialisasi adat, marginalisasi nilai budaya, serta rendahnya keterlibatan generasi muda menjadi sorotan utama. Namun di sisi lain, muncul pula peluang-peluang baru melalui pendidikan, digitalisasi, kebijakan daerah, dan partisipasi masyarakat sipil.

Strategi Pelestarian Berbasis Komunitas dan Pendidikan.

Pelestarian adat tidak dapat dilakukan secara top-down semata. Ia harus berakar dari komunitas, dimulai dari keluarga hingga lembaga adat. Salah satu strategi utama adalah penguatan kapasitas komunitas adat dalam mendokumentasikan, memahami, dan mentransformasikan nilai-nilai tradisional ke dalam bentuk baru yang relevan.

Baca Juga :  Adat Saibatin dan Pepadun, Pilar Identitas Etnis. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

a. Revitalisasi Rumah Adat dan Forum Komunitas.

Rumah adat bukan hanya tempat upacara, melainkan simbol keberlanjutan identitas budaya. Revitalisasi fungsi rumah adat sebagai pusat belajar, diskusi, dan pelatihan adat akan menumbuhkan kembali peran Penyimbang sebagai pembina komunitas. Forum komunitas bisa digunakan untuk membahas isu-isu sosial dengan pendekatan adat.

b. Kurikulum Adat dalam Pendidikan Formal dan Nonformal.

Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan tokoh adat dan akademisi untuk menyusun kurikulum muatan lokal yang mengintegrasikan adat Lampung. Dalam pendidikan nonformal, pesantren adat, sanggar budaya, dan komunitas belajar bisa menjadi alternatif untuk menjangkau generasi muda.

c. Digitalisasi Adat dan Media Sosial.

Anak muda hidup dalam ekosistem digital. Maka, dokumentasi tradisi lisan, rekaman video begawi, atau konten edukatif tentang pi’il-pusanggiri perlu disebarkan melalui media yang digemari generasi muda seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Penyimbang perlu difasilitasi untuk menjadi narator digital budaya.

Rekomendasi Kebijakan Daerah dan Partisipasi Multistakeholder.

Pelestarian adat tidak dapat hanya mengandalkan inisiatif komunitas. Dibutuhkan kebijakan yang mendukung secara sistemik. Pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dunia akademik, dan sektor swasta harus terlibat secara sinergis.

a. Regulasi Hukum dan Pengakuan Lembaga Adat.

Perlu penguatan regulasi daerah (perda) yang mengakui kedudukan lembaga adat dan tokoh Penyimbang dalam sistem pemerintahan lokal. Pengakuan ini penting agar adat tidak hanya menjadi simbol, melainkan bagian aktif dari pembangunan daerah.

b. Dana Pelestarian dan Dana Partisipatif.

Dialokasikan anggaran khusus untuk kegiatan pelestarian budaya seperti pelatihan, festival adat, digitalisasi naskah lama, atau revitalisasi rumah adat. Dana ini harus dikelola secara transparan dan berbasis komunitas.

Baca Juga :  Peran Pemangku Adat Dalam Menjaga Harmoni Sosial Sehari-hari. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

c. Kemitraan Antar Pemangku Kepentingan.

* Lembaga adat dan dinas pendidikan: menyusun modul ajar budaya.
* Lembaga adat dan dinas pariwisata: memastikan promosi budaya tidak mereduksi nilai adat.
* Perguruan tinggi dan komunitas adat: riset kolaboratif dan pengembangan dokumentasi budaya.

Panduan Praktis untuk Generasi Muda dan Pengurus Adat.

Perubahan dimulai dari yang paling sederhana: kesadaran dan partisipasi. Baik generasi muda maupun pengurus adat memiliki tanggung jawab yang saling melengkapi.

a. Untuk Generasi Muda
* Belajar Bahasa dan Simbol Adat: Menguasai bahasa Lampung (dialek A dan O) serta memahami simbol adat seperti siger, motif tapis, dan ritual begawi.
* Aktif di Komunitas Adat: Mengikuti kegiatan adat, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku.
* Kreatif dalam Medium Baru: Menjadi kreator konten budaya di media sosial, membuat podcast, vlog, atau ilustrasi digital tentang adat Lampung.
* Jembatan Dunia Lama dan Baru: Menggunakan teknologi untuk menyimpan, menyebarkan, dan mengembangkan tradisi adat.

b. Untuk Pengurus Adat dan Penyimbang.

* Mendampingi tanpa Menggurui: Mengajak generasi muda dengan pendekatan dialogis, bukan instruksi satu arah.
* Berinovasi dalam Upacara dan Pendidikan: Menyisipkan sesi edukatif dalam begawi, memperkenalkan adat dalam bentuk visual dan interaktif.
* Menjadi Mitra Pemerintah dan Akademisi: Berperan aktif dalam forum kebijakan dan diskusi ilmiah, bukan sekadar pelaksana simbolik.
• Mendokumentasikan dan Membukukan Pengetahuan: Menulis silsilah, peraturan adat, dan cerita rakyat sebagai warisan intelektual.

Menuju Kebangkitan Kultural yang Berkelanjutan.

Adat istiadat bukan sekadar masa lalu yang dibekukan. Ia adalah sistem nilai hidup yang harus dikembangkan seiring perkembangan zaman. Institusi Penyimbang, sebagai jantung dari adat Lampung, perlu terus dirawat, dikuatkan, dan diperbarui.
Seri ini telah menunjukkan betapa dalam dan kompleksnya peran Penyimbang dalam menjaga identitas, harmoni sosial, dan spiritualitas komunitas. Namun tanggung jawab pelestarian tidak hanya berada di pundak mereka. Ia adalah tanggung jawab kolektif: pemerintah, komunitas, akademisi, dan kaum muda.
Dengan strategi berbasis komunitas, dukungan kebijakan yang kuat, dan keterlibatan generasi muda, adat Lampung dapat tidak hanya bertahan tetapi berkembang. Dari rumah adat hingga dunia digital, dari begawi hingga media sosial, nilai-nilai luhur dapat tetap hidup dan menyinari perjalanan masyarakat Lampung menuju masa depan yang berakar pada jati dirinya.

Baca Juga :  Serial Buku - Dapur dan Warisan: Cerita Makanan Adat Lampung. Buku 5 - Kue Adat dan Doa Ibu. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Daftar Pustaka
* Alaidrus, R. (2015). Adat Lampung: Identitas, Eksistensi, dan Tantangan Globalisasi. Bandar Lampung: Pustaka Adat.
* Anshori, A. (2020). Penyimbang: Tokoh Adat dalam Kearifan Lokal Lampung. Metro: Balai Budaya Lampung.
* Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2019). Kamus Bahasa Lampung-Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.
* Harsya, W. (2011). Sejarah dan Budaya Lampung. Jakarta: Komunitas Bambu.
* Lembaga Adat Lampung. (2019). Pedoman Pelestarian Adat dan Budaya Lampung. Bandar Lampung: Sekretariat LAL.
* Pemerintah Provinsi Lampung. (2023). Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan Daerah. Bandar Lampung: Dinas Kebudayaan.
* Rasyid, A. (2022). “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan Multikultural: Studi Komparatif pada Adat Lampung.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 28(3).
* Suryadinata, L. (2003). Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: ISEAS.
* Susanto, H. (2020). Digitalisasi Budaya Lokal di Era 4.0: Studi Kasus Komunitas Adat di Sumatera. Jakarta: Gramedia Literasi.
* Syafei, A. (2006). Struktur Sosial Masyarakat Adat Lampung. Lampung: Lembaga Adat Sai Bumi Ruwa Jurai.
* Wiryawan, A. (2021). Transformasi Tradisi Adat Lampung di Era Modern. Bandar Lampung: Rumah Pustaka Budaya.
* Zakaria, Y. (1994). Kebudayaan Lampung: Suatu Tinjauan Historis dan Filosofis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini