nataragung.id – JELAJAH NUSANTARA – Terserah bagaimana Anda menangapinya – tapi hingga saya menulis risalah ini, saya tetap menganggap Jokowi sebagai simbol demokrasi Indonesia yang nyata.
Dari anak tukang kayu di Solo, ia berhasil memimpin negeri ini selama dua periode dengan sederet pencapaian yang mengubah wajah Indonesia.
Di tengah hujatan dan sinisme atas naiknya Gibran sebagai Wapres RI dan Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumut, hari hari ini – Jokowi adalah politisi yang lahir dari rahim rakyat yang tetap diperhitungkan.
Popularitasnya yang bertengger di atas 70 % di ujung jabatan jelas menunjukkan bahwa Jokowi unggul dibanding presiden sebelumnya.
Anda bisa menengok ulang catatan sejarah pada ujung pemerintahan Sukarno – Suharto – BJ Habibie – Gus Dur – Megawati dan SBY.
Dengan segala hormat, pada ujung pemerintahan nama nama yang disebut adalah suram. Dari Bung Karno, Suharto, BJ Habibie hingga Gus Dur – semua dijatuhkan – terlepas beliau bersalah atau tidak bersalah.
Opini saya kali ini akan mengulas bagaimana kepemimpinan Jokowi, dengan gaya kerakyatannya, berhasil menorehkan sejarah baru dalam pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan kedaulatan sumber daya alam.
Jokowi – yang sedang berulang tahun ke- 64, pada hari Sabtu (21 Juni 1961 – 2025) adalah presiden pertama Indonesia yang tidak berasal dari dinasti politik atau militer. Dia memulai karir sebagai pengusaha mebel sebelum terjun ke politik. Kepemimpinannya sebagai Wali Kota Solo (2005–2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012–2014) menunjukkan kesukaannya pada pendekatan ‘blusukan’ — langsung turun ke lapangan mendengar keluhan warga.
Gaya ini ia bawa ke tingkat nasional – dengan ciri kemeja putih yang digulung di bagian lengannya – menjadikannya pemimpin yang dekat dengan rakyat kecil.
Kemenangannya dalam Pilpres 2014 dan 2019 mencerminkan kepercayaan publik terhadap janjinya: membangun Indonesia dari pinggiran, memajukan infrastruktur, dan memperjuangkan kedaulatan ekonomi.
Di tengah skeptisisme elite politik, Jokowi membuktikan bahwa ” rakyat jelata dari pinggiran kali” bisa memimpin dengan cara berbeda.
WARISAN terbesar Jokowi adalah transformasi infrastruktur Indonesia, mengambil alih saham Freeport dan menasionalisasi tambang tambang asing, dan membangun wilayah Indonesia Timur.
Selama dua periode, lebih dari 16 bandara baru, 18 pelabuhan, 1.700 km tol, dan proyek strategis seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibangun. Selain MRT dan LRT yang tidak dimiliki Indonesia sebelumnya.
Di sisi teknologi tinggi, Jokowi juga memperkuat infrastruktur digital dengan Palapa Ring, menjangkau 514 kabupaten/kota.
Pembangunan ini menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa.
Kritik atas utang infrastruktur dijawabnya dengan data: rasio utang Indonesia masih aman di bawah 40% PDB, lebih rendah daripada banyak negara G-20.
Membangun Papua = membangun Indonesia.
Tak hanya fokus di kota, dia juga membangun Indonesia Timur. Membangun jalan trans-Papua, menghubungkan wilayah terpencil yang sebelumnya terisolasi.
Jokowi tidak hanya menjadikan Papua sebagai prioritas di atas kertas, tetapi mewujudkannya dengan proyek nyata.
Langkah ini bukan hanya tentang pembangunan fisik, melainkan juga pengakuan bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari masa depan Indonesia.
Dua kebijakan Jokowi yang paling berani adalah pengambilalihan 51% saham Freeport (2018) dan larangan ekspor nikel mentah (2020). Keduanya mencerminkan visinya bahwa Indonesia harus menguasai sumber daya alamnya sendiri, bukan sekadar menjadi pengekspor bahan mentah.
Setelah negosiasi alot, pemerintah akhirnya menguasai mayoritas saham PT Freeport Indonesia, mengakhiri dominasi asing di tambang emas terbesar dunia. Langkah ini tidak hanya meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga memastikan pengelolaan tambang lebih berpihak pada kepentingan nasional.
Kebijakan ini menuai protes Uni Eropa yang menggugat Indonesia ke WTO. Namun, Jokowi teguh: “Kita stop ekspor bahan mentah, kita bangun industri hilir.”
Hasilnya, investasi smelter nikel melonjak, nilai ekspor produk nikel olahan naik dari Rp 17 triliun (2014) menjadi Rp 330 triliun (2023), dan Indonesia kini menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar dunia.
Pengelolaan saham Freeport (51% milik Indonesia) memastikan keuntungan tambang emas terbesar dunia kembali ke rakyat Papua melalui dana abadi (endowment fund).
“Dulu kami hanya lihat Freeport untung, tapi rakyat sengsara. Sekarang, ada jalan bagus, listrik masuk, dan anak-anak Papua bisa sekolah gratis. Masih banyak masalah, tapi setidaknya pemerintah pusat mulai peduli,” kata Yosepha Alomang, aktivis lingkungan di Timika.
Ia kerap blusukan ke Papua, mendengar langsung keluhan warga, dan memastikan program afirmatif seperti: Kartu Papua Sehat – Layanan kesehatan gratis.
“Sejak Jalan Trans – Papua dibangun, harga barang di Wamena turun. Dulu sekarung beras Rp 2 juta, sekarang Rp 500 ribu. Kami juga bisa jual kopi dan hasil kebun ke luar Papua, “kata Benyamin Gurik, pengusaha kecil di Wamena.
Beasiswa Afirmasi – Ribuan mahasiswa Papua dikirim kuliah di PTN ternama dan rekrutmen ASN Papua dan kuota khusus bagi putra-putri Papua.
“Banyak teman saya dari Papua sekarang jadi dokter, ” kata Maria Tabuni, kata Mahasiswa asal Jayawijaya. “Tanpa beasiswa ini, saya tidak mungkin kuliah di Universitas Indonesia,” ungkap penerima beasiswa Afirmasi ini.
Berbeda dengan pendekatan keamanan sentris di masa lalu, Jokowi lebih memilih dialog dan pembangunan sebagai solusi konflik Papua.
Tentu saja masih ada tantangan, meski banyak kemajuan, seperti konflik bersenjata di Pegunungan Tengah dan kesenjangan sosial masih perlu diatasi.
Namun, fondasi yang dibangun Jokowi—akses infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi—telah membuka jalan bagi Papua yang lebih sejahtera.
Jika kita lihat betapa aktifis dan NGO pelestari alam galak mengritik – maka lihatlah bahwa kaki tangan asing memang tak menginginkan sumber alam kita diolah sendiri.
Mereka inginkan bumi Papua tetap ada dalam pengusaan majikan mereka: kaum kapitalis, korporasi global yang didukung politisi dalam negeri yang sakit hati, kaum kecewa dan pecatan!
Mereka diam saat bertonton emas diangkut Amerika dari Timika – Tembagapura dan kerusakan begitu nyata dampaknya.
Tapi kini berisik ketika nikel diolah bangsa sendiri di pulau Gag yang masih jauh dari kawasan wisata premium Raja Empat. ***