nataragung.id – JELAJAH NUSANTARA – Gibran, tentu bukan Prabowo. Ia bukan pusat kekuasaan, bukan pengendali kabinet, pun bukan penentu arah kebijakan besar. Tapi di balik kesan “ban serep” yang sering dijadikan bahan anekdot satiris itu, nampaknya tersimpan kekuatan yang tak kalah strategis: tabungan emosional dari jalanan.
Ia membagi buku, menyapa anak-anak, duduk di warung, minum susu bersama petani, tanpa ragu dan penuh kepedulian menemui mahasiswa pendemo di Bengkulu, solutif—hal-hal yang oleh sebagian elit dianggap remeh, tapi justru menyentuh jantung rakyat. Dan seperti kata Stephen Covey dalam bukunya 𝘛𝘩𝘦 7 𝘏𝘢𝘣𝘪𝘵𝘴 𝘰𝘧 𝘏𝘪𝘨𝘩𝘭𝘺 𝘌𝘧𝘧𝘦𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘗𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦, “𝘦𝘮𝘰𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘯𝘬 𝘢𝘤𝘤𝘰𝘶𝘯𝘵” itu nyata—ia adalah bentuk kepercayaan, kedekatan, dan rasa aman yang dibangun lewat kehadiran, bukan sekadar pidato.
𝗗𝘂𝗮 𝗝𝗮𝗹𝘂𝗿 𝗞𝗲𝗽𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻𝗮𝗻
Di atas–Prabowo sibuk dengan diplomasi, arah geopolitik, dan strategi pertahanan. Ia membentangkan karpet merah untuk Indonesia di panggung global. Dan Prabowo berhasil. Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga kepresidenan 82,7% (Indikator Politik). Ini bukan angka biasa, sekaligus bukti bahwa rakyat percaya pada sosok Prabowo dalam mengusung narasi besarnya.
Tapi Gibran bekerja di jalur yang berbeda—di jalur sepi, jalur yang lebih manusiawi. Ia membangun keintiman dengan rakyat lewat detak yang lebih pelan: mendengar, hadir, menyapa. Dan mungkin di situlah kekuatannya yang sesungguhnya.
𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗺𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶
Banyak orang lupa bahwa politik bukan hanya tentang kebijakan dan strategi, tapi juga tentang rasa dan ingatan. Rakyat sering lupa “angka yang tercantum”, tapi tidak pernah lupa “wajah yang hadir”. Di sinilah Gibran sedang menanam: setiap sapa, senyum, dan interaksi adalah deposito di bank emosional publik.
Dan tabungan ini tidak berdiri sendiri. Ia diperkuat oleh warisan emosional sang ayah–Jokowi–yang pernah membangun relasi yang sama: turun ke jalan, masuk gang, duduk di tepi sawah, dan membiarkan rakyat menyentuhnya, bukan hanya melihat dari jauh.
𝗠𝗮𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝗽𝘂𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗴𝗲𝗿𝗮𝗸
Mereka yang paham kekuatan ini mulai bergerak. Ada yang menggerus perlahan, ada yang menghantam brutal. Dari isu ijazah hingga olok-olok keluarga. Tujuannya satu: menguras habis tabungan emosional itu sebelum 2029 tiba.
Tapi sejarah punya cara sendiri untuk menjawab. Ingatlah, di banyak tempat, pemimpin besar justru lahir dari jalan-jalan sepi, bukan dari panggung megah. Di jalan sunyi itulah mereka “mencuri” hati rakyat.
𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗱𝗶𝗿𝗲𝗻𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻
Ini bukan tentang siapa lebih kuat. Bukan pula tentang siapa akan maju di 2029. Ini tentang kita—tentang bagaimana kita sering mengabaikan kekuatan yang tak kasat mata. Politik bukan hanya soal strategi, tapi juga soal sentuhan. Dan mereka yang sanggup menyentuh hati rakyat, adalah mereka yang akan diingat jauh melampaui masa jabatannya. Ingat, fenomena itulah yang terjadi pada Jokowi, saat nyaris tiada hari tanpa silaturahmi rakyat di rumahnya di Solo.
Karena pada akhirnya–kekuasaan bisa dipinjam lewat jabatan dan status. Tapi kepercayaan–hanya bisa diwariskan lewat kehadiran dan kedekatan.
By: Herry Tjahjono ✍️