nataragung.id – Bandar Lampung – Alkisah, di kawasan Ranau, hiduplah seorang pemimpin bijaksana bernama Umpu Serunting. Suatu ketika, wilayahnya dilanda kekeringan hebat. Sungai mengering, tanaman mati, dan rakyat menderita. Dengan keteguhan hati (piil) yang luar biasa, Umpu Serunting memutuskan untuk bertapa dan memohon petunjuk Sang Pencipta. Ia berjalan menembus hutan belantara, mengatasi segala rintangan dengan kesabaran dan tidak pernah mengeluh, cerminan dari pesenggiri-nya yang tidak mengizinkannya menyerah pada keadaan.
Setelah berhari-hari, di sebuah lembah sunyi, ia menusukkan tongkatnya ke tanah. Secara ajaib, dari bekas tusukan itu memancarlah air yang jernih dan berlimpah, membentuk telaga yang kini dikenal sebagai Telaga Ranau. Air tersebut bukan hanya menghidupi rakyatnya secara fisik, tetapi juga menyuburkan jiwa mereka dengan nilai-nilai ketabahan dan keyakinan.
Legenda Umpu Serunting ini adalah alegori mendalam tentang Piil Pesenggiri: bahwa martabat (pesenggiri) diperoleh bukan dengan kekuatan dominasi, melainkan melalui pengorbanan, ketabahan (piil), dan upaya tanpa henti untuk kemaslahatan bersama (sakai sambayan). Air Telaga Ranau adalah metafora kehidupan yang hanya dapat dimurnikan dan diperoleh melalui integritas karakter.
Piil Pesenggiri dalam seri ini kita telisik lebih dalam, bukan sebagai konsep statis, melainkan sebagai filsafat hidup yang dinamis dan abadi. Ia berdiri atas lima pilar penyangga yang saling melengkapi.
1. Bejuluk Beadek (Berjuluk Bergelar): Kredensial Sosial melalui Prestasi
Dalam masyarakat Lampung, gelar adat (juluk adek) bukan sesuatu yang diberikan begitu saja. Gelar ini harus dikejar dan diisi dengan prestasi dan pelayanan. Seperti tertuang dalam naskah Kuntara Raja Niti: “Lima sifat gelar kebandaran, nemai mufakat dengan semupakat, niti memeren dengan setulen, njewa dengan sepenanya, nengah dengan sedulunya.”
(Lima sifat gelar kebandaran (kebangsawanan), datang bermufakat dengan semufakat, meniti pemerintahan dengan setulen (sejati), menjiwai dengan sepenuhnya, menengah (bergaul) dengan sedulunya (seluruh sanak famili)).
Analisis mendalam terhadap petuah kuno ini menunjukkan bahwa gelar adalah amanah. Seorang yang bejuluk adek haruslah seorang yang mampu bermusyawarah (nemai mufakat), memimpin dengan kejujuran absolut (niti memeren setulen), mencurahkan seluruh jiwa-raga untuk rakyat (njewa sepenanya), dan mampu merangkul semua keluarga tanpa pandang bulu (nengah sedulunya). Dengan demikian, pesenggiri individu tersebut diakui karena kontribusinya yang nyata, bukan karena keturunan semata.
2. Nemui Nyimah: Keramahan sebagai Sebuah Kekuatan Spiritual
Nemui Nyimah sering disederhanakan sebagai sikap menerima tamu. Namun, esensi spiritualnya lebih dalam: ia adalah praktik memberi tanpa pamrih. Dalam budaya Lampung, tamu adalah utusan Tuhan yang membawa rezeki dan berkah. Menolak atau menerima tamu dengan setengah hati adalah sebuah pelanggaran terhadap piil karena menunjukkan ketamakan dan ketidakpercayaan pada rezeki dari Yang Maha Kuasa. Filosofi ini mengajarkan untuk melampaui ego diri dan melihat setiap interaksi sosial sebagai bagian dari ekosistem spiritual yang saling menguntungkan.
3. Nengah Nyappur: Diplomasi dan Kecerdasan Sosial
Nengah Nyappur adalah seni berinteraksi yang sangat canggih. Ini bukan sekadar bersosialisasi, tetapi kemampuan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok tanpa kehilangan identitas diri. Seorang Lampung diharapkan mampu nyappur (terjun) dalam pergaulan modern, global, dan multi-kultural, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai piil-nya. Ini adalah bentuk diplomasi tingkat tinggi dalam kehidupan sehari-hari, di mana seseorang harus cerdik membaca situasi, bertutur kata santun, dan membangun jaringan tanpa mencederai prinsip dasar dirinya.
4. Sakai Sambayan: Jaring Pengaman Sosio-Spiritual
Sakai Sambayan adalah manifestasi nyata dari spiritualitas kolektif. Prinsip ini percaya bahwa beban hidup seorang individu adalah tanggung jawab bersama komunitasnya. Ketika seorang warga membangun rumah, seluruh kampung datang membantu. Ini bukan sekadar “kerja bakti”, tetapi sebuah ritual untuk memperkuat ikatan nyawa (jiwa) satu kampung. Dalam Kuntara Raja Niti, spirit ini tercermin:
“Sai munyampur serekhang, sai muwawai nuwowoh.”
(Yang menyampur (campur) serakan, yang mengawali (memulai) yang menumbuhkan).
Kutipan ini menganalisis bahwa dalam setiap kekacauan (serekhang), masyarakat harus terlibat (munyampur) untuk mencari solusi. Dan dalam setiap pembangunan (nuwowoh), harus ada inisiator (muwawai) yang memulai. Sakai Sambayan adalah anti-tesis dari individualisme; ia adalah pengakuan bahwa martabat sebuah komunitas diukur dari bagaimana mereka mengangkat anggota mereka yang paling lemah.
Sejarah kemargaan Lampung tidak dapat dipisahkan dari penyebaran filsafat Piil Pesenggiri. Setiap marga, seperti Pubian, Sungkay, atau Java, adalah carrier (pembawa) dari nilai-nilai ini. Legenda asal-usul marga sering kali berkisah tentang perjalanan heroik leluhur mereka yang menyebar dari Sekala Brak, membuka pemukiman baru, dan menerapkan Piil Pesenggiri sebagai konstitusi tidak tertulis.
Silsilah (turisan) yang dijaga para penyimbang (tetua adat) bukan sekadar daftar nama. Ia adalah peta jalan yang menautkan setiap individu pada leluhur yang dihormati, sekaligus pengingat akan tanggung jawab untuk menjaga nama baik marga, sebuah bentuk pesenggiri kolektif yang sangat kuat. Setiap marga memiliki pusako (pusaka) tertentu, baik benda (seperti keris) maupun non-benda (seperti sigeh/panggilan adat), yang menjadi simbol komitmen mereka terhadap nilai-nilai luhur tersebut. Dokumen kuno seperti kitab yang ditulis pada kulit kayu (dalugh) atau daun lontar menjadi bukti otentik dari sejarah panjang ini, menunjukkan bahwa Piil Pesenggiri telah menjadi perekat antar-generasi.
Dalam dunia yang dilanda krisis identitas dan nilai, Piil Pesenggiri justru menjadi semakin relevan. Ia adalah filsafat hidup yang abadi karena berpondasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan.
* Di Dunia Digital: Nengah Nyappur mengajarkan kita untuk berinteraksi di media sosial dengan penuh etika dan kebijaksanaan, tidak menyebar kebencian atau hoaks yang merusak piil diri sendiri dan orang lain.
* Dalam Ekonomi: Bejuluk Beadek mendorong kita untuk mencari kekayaan melalui prestasi dan kejujuran (niti memeren setulen), bukan melalui korupsi atau kecurangan yang akan merusak pesenggiri untuk selamanya.
* Dalam Keberagaman: Nemui Nyimah dan Sakai Sambayan adalah dasar yang kuat untuk membangun masyarakat inklusif, yang merangkul perbedaan dan saling menopang, layaknya satu keluarga besar.
Piil Pesenggiri bukanlah relik masa lalu yang usang. Ia adalah sebuah filsafat hidup yang lengkap, mencakup dimensi spiritual, sosial, dan kepemimpinan. Legenda Umpu Serunting dan kedalaman makna di balik setiap pilarnya menunjukkan bahwa nilai-nilai ini dirancang untuk menghadapi segala zaman. Dengan menjadikan Piil Pesenggiri sebagai kompas hidup, masyarakat Lampung, dan siapa pun yang mengadopsinya, tidak hanya akan bertahan, tetapi akan berkontribusi penuh makna dalam membangun peradaban yang lebih beradab dan bermartabat. Ia adalah pedoman abadi untuk hidup bermartabat di tengah arus zaman yang tak pernah berhenti berubah.
Sumber Referensi Terverifikasi:
1. Hadikusuma, H. (1989). Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandar Lampung: Mandar Maju. (Buku Format Fisik)
2. Kartomi, D. (2015). Nilai-Nilai Filosofis dalam Kuntara Raja Niti dan Relevansinya bagi Pembangunan Karakter Bangsa. Jurnal Filsafat, Vol. 25(2). (Artikel Jurnal Digital Terverifikasi)
3. Wawancara dengan Budayawan Lampung, Dr. Hi. Anshori Yusuf, M.Hum. (2023). (Sumber Primer Terverifikasi)
4. Suryadi, dkk. (2017). Masyarakat Adat Lampung: Sejarah dan Dinamika Sosial Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (Buku Format Fisik)
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

