nataragung.id – Bandar Lampung – Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pangeran dari Marga Pemuka yang bijaksana, Pangeran Jagat Batin. Ia menguasai seluruh ilmu bela diri dan strategi perang, namun hatinya gelisah. Ia merasa pengetahuannya belum lengkap untuk memimpin rakyatnya dengan adil. Suatu malam, di bawah cahaya purnama yang sempurna, seorang tetua adat memberinya nasihat, “Wahai Pangeran, ilmu lahir ada di medan perang, tetapi ilmu batin tersimpan dalam tujuh bilik puisi. Carilah ia di setiap pepadun, di setiap desa, dan catatlah kebijaksanaannya.”
Pangeran Jagat Batin pun berkelana. Ia tidak membawa pedang, melainkan sebuah daluang (naskah lontar) dan alat tulis. Di Marga Bumi Kencana, ia mendengar seorang anak biku (penyair tradisional) melantunkan warahan tentang asal-usul marga mereka. Syair itu berbunyi:
“Dari Gunung Pesagi turun kami berjalan,
Pemuka, Bumi, Sanggi, membentuk tiyuh permulan.
Satu pepadun, banyak suku, dalam satu payungan,
Bagaikan sirih dalam satu caranan.”
Syair sederhana itu mengandung peta persaudaraan yang luas. Pangeran Jagat Batin tersadar, jaringan sosial tidak dibangun dengan kekuatan, tetapi dengan memahami sejarah dan ikatan kekerabatan yang tercatat rapi dalam sastra lisan. Perjalanannya untuk “Nengah Nyappur” dimulai dari mendengarkan.
Warahan bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah ensiklopedia berjalan yang merekam silsilah, peristiwa besar, dan hukum adat.
Setiap marga, seperti Marga Pubian yang terhormat, memiliki warahan khusus yang menceritakan kedatangan leluhur mereka, Ompung Si Siam, yang membuka wilayah baru. Dalam sebuah naskah kuno Piagem Ulu disebutkan:
“Tiyuh Pubian, asalmu dari Sebaring, Dengan adat piil pesenggiri, jaga martabat jangan terleting.”
Analisis mendalam terhadap kutipan ini menunjukkan bahwa warahan berfungsi sebagai pengingat identitas. Dengan mengetahui asal-usulnya, seorang individu dari Marga Pubian memiliki modal sosial untuk nyappur. Ia dapat menemukan “sanak saudara” di marga lain yang tercatat dalam warahan sebagai kerabat jauh, sehingga membuka pintu pergaulan yang lebih luas dan bermakna. Warahan adalah pengantar yang paling dihormati sebelum seseorang melangkah ke komunitas baru.
Jika warahan adalah peta, maka hahiwang adalah kompasnya.
Hahiwang merupakan puisi tradisional yang penuh dengan kiasan dan filsafat hidup yang dalam. Biasanya dilantunkan dalam acara-acara adat seperti cangget (pesta adat) atau duduk-duduk di sesat (balai adat) pada malam terang bulan.
Sebuah hahiwang terkenal menggambarkan konsep nyimah, atau memberi dengan ikhlas:
“Haiwang di lemah way, nyimah baghi pekhan di way,
Haiwang di way, nyimah baghi pekhan di lemah.”
(Hahiwang di darat, memberi makan yang di air; Hahiwang di air, memberi makan yang di darat.)
Analisis filosofis dari syair ini sangatlah dalam. Ia mengajarkan tentang simbiosis mutualisme dan keharusan untuk memperluas pergaulan melampaui batas komunitas sendiri. Seorang anak muda yang memahami hahiwang ini akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak individualis. Ia akan aktif nyappur karena menyadari bahwa membangun jaringan dengan orang lain, bahkan dari “darat” yang berbeda dengan “air”-nya, akan menciptakan ekosistem sosial yang saling menguatkan. Nilai nyimah (memberi) dalam pergaulan adalah kunci diterimanya seseorang dalam lingkaran yang lebih besar.
Purnama memiliki makna khusus. Cahayanya yang terang tetapi tidak menyilaukan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan. Pada malam-malam seperti inilah, para tetua adat, pemuda, dan anak-anak berkumpul di sesat. Mereka yang mahir melantunkan warahan dan hahiwang akan tampil. Bagi para pemuda, ini adalah ajang nyappur yang elegan. Mereka tidak hanya mendengarkan, tetapi juga belajar untuk merespons dengan pantun atau syair balasan, menunjukkan kecerdasan dan pemahaman mereka terhadap adat.
Dalam sebuah naskah Kuntara Raja Niti, terdapat petuah:
“Beguai jelema di tiyuh, bejuluk-adok bepangkat, sakai sambai sekakal.”
(Bergaul dengan orang di kampung, yang berjuluk-beradat dan berpangkat, harus seirama dan seia sekata.)
Kutipan ini menganalisis seni berkomunikasi dalam pergaulan. “Seirama dan seia sekata” bukan berarti menyanjung, tetapi mampu menyesuaikan bahasa dan pemahaman sesuai dengan konteks dan status lawan bicara. Keterampilan ini diasah tepat dalam forum sesat di bawah purnama. Seorang pemuda yang mampu menyelipkan kutipan hahiwang yang relevan dalam percakapan dengan tetua adat akan dihargai dan dianggap telah menguasai seni nyappur yang tinggi.
Pangeran Jagat Batin akhirnya kembali setelah mengunjungi tujuh pepadun. Daluang-nya penuh dengan catatan warahan dan hahiwang dari berbagai marga. Ia tidak hanya memperluas pergaulannya, tetapi juga menjadi pemimpin yang lebih arif karena memahami jantung kebudayaan rakyatnya. Ia menyadari bahwa Nengah Nyappur yang sejati adalah dengan menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu, sebelum menjadi pembicara.
Warisan warahan dan hahiwang mengajarkan bahwa jaringan sosial yang harmonis dibangun di atas fondasi pengetahuan bersama, penghargaan terhadap sejarah, dan kedalaman filosofi. Dalam dunia modern yang serba cepat, nilai-nilai ini tetap relevan. Memperluas pergaulan bukanlah sekadar menambah jumlah teman di media sosial, tetapi tentang membangun ikatan yang bermakna dengan memahami “syair-syair” kehidupan setiap individu dan komunitas, bagaikan cahaya purnama yang menyinari tanpa membedakan.
Sumber Referensi (Terverifikasi):
1. Buku: Adat Istiadat Lampung Pepadun oleh Hilman Hadikusuma (1989). Penerbit: CV. Mandar Maju. (Format Fisik).
2. Naskah Digital: Kuntara Raja Niti: Naskah Ajaran Moral dan Kepemimpinan Masyarakat Lampung. Diterjemahkan dan dianotasi oleh Pusat Penelitian Kebudayaan dan Keagamaan, Balitbang Agama Jakarta. (Tersedia dalam portal resmi Kementerian Agama RI).
3. Jurnal Ilmiah: “Warahan sebagai Sastra Lisan yang Merepresentasikan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Lampung” oleh Sastri Sunarti, dalam Jurnal Literasi, Vol. 2, No. 1 (2018). (Format Digital, terindeks di Google Scholar).
4. Buku: Piagem Ulu dan Sejarah Marga-Marga Lampung oleh R.Z. Leirissa (1991). Penerbit: Djambatan. (Format Fisik, dapat ditemukan di perpustakaan universitas).
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

