Review Film “Tuhan Izinkan Aku Berdosa”, Buat Sesak Dada – MAJALAH NATAR AGUNG

0

nataragung.id, ARTIKEL – “Tuhan Izinkan Aku Berdosa” tidak hanya sebuah film, tapi sebuah pengalaman emosional yang memaksa penontonnya untuk menghadapi realita pahit yang jarang dibicarakan secara gamblang di ruang publik: kemunafikan dalam sistem sosial dan agama yang dianggap suci. Sutradara kenamaan Hanung Bramantyo mengambil keberanian besar dalam mengangkat tema ini, membuat film ini bukan hanya sebuah tontonan biasa, melainkan cermin untuk kita merenung lebih dalam tentang nilai-nilai yang selama ini dianggap mutlak.

Cerita ini mengikuti perjalanan Kiran, diperankan dengan sangat menjiwai oleh Aghniny Haque, seorang perempuan yang pada awalnya taat dan berusaha hidup sesuai dengan nilai-nilai agama yang ia yakini. Namun, kehidupan yang semula damai dan penuh harapan berubah menjadi mimpi buruk ketika ia bergabung dengan sebuah kelompok agama garis keras yang dipimpin oleh sosok karismatik bernama Abu Darda. Kiran percaya bahwa dengan mengikuti ajaran kelompok ini, ia akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan menemukan jalan hidup yang benar. Tapi kenyataan yang dihadapinya justru jauh dari harapan. Lambat laun, ia mulai menyadari bahwa ajaran yang ia ikuti penuh dengan kontradiksi, penindasan, dan, yang paling menyakitkan, kemunafikan.

Puncaknya terjadi ketika Abu Darda, yang selama ini dianggap Kiran sebagai sosok panutan, memutuskan untuk menikahinya sebagai istri keempat. Keputusan ini menghancurkan Kiran secara emosional, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsipnya tentang cinta, martabat, dan harga diri sebagai seorang perempuan. Kiran yang semula merasa suci dalam pengabdian, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa ia hanyalah pion dalam permainan ego para pemimpin agama yang mengklaim memiliki otoritas atas hidup dan jiwanya.

Baca Juga :  Membumikan Visi Misi Egi-Syaiful di Pilkada Lamsel 2024

Kekecewaan yang Kiran alami tidak hanya berasal dari kelompok agama tersebut. Dalam perjalanan hidupnya, ia juga mengalami serangkaian pelecehan dari orang-orang yang seharusnya membimbing dan melindunginya. Dosennya, yang dikenal religius, menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan pelecehan seksual. Teman-temannya yang tampak taat pada permukaan, ternyata hanya topeng dari hipokrisi yang mereka sembunyikan rapat-rapat. Semua ini membuat Kiran merasa terhimpit dan hancur.

Kiran, yang pada awalnya begitu yakin akan kebenaran yang diajarkan kepadanya, mulai mempertanyakan segala hal—mulai dari otoritas agama hingga keadilan Tuhan. Ia bertanya pada dirinya sendiri mengapa semua cobaan ini datang padanya, dan apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan dari hidupnya. Salah satu momen paling emosional dalam film ini adalah ketika Kiran, dalam tangisnya yang pilu, berdoa kepada Tuhan dan memohon jawaban. Dia berkata, “Ya Tuhan, jika aku telah berjuang begitu keras untuk mengabdi pada-Mu, lalu mengapa Engkau membalasnya dengan penderitaan yang tak tertahankan ini? Apakah ini keadilan-Mu?” Di sini, penonton bisa merasakan bahwa Kiran bukan hanya berjuang melawan dunia di sekitarnya, tetapi juga melawan dirinya sendiri dan keyakinannya yang selama ini ia genggam erat.

Keputusasaan Kiran mencapai puncaknya ketika ia mengambil keputusan drastis: menjadi pelacur. Bukan karena keinginan materi, melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kemunafikan sosial dan agama yang terus-menerus menghancurkan hidupnya. Ini adalah tindakan simbolis, sebuah bentuk protes terhadap mereka yang menilai moralitas dari penampilan luar, tetapi sebenarnya tenggelam dalam kepalsuan dan egoisme. Menjadi pelacur bagi Kiran bukan sekadar pekerjaan hina, melainkan sebuah pilihan sadar untuk menolak norma-norma yang telah ia anggap mengekangnya selama ini.

Baca Juga :  Asal Usul Kata BAJINGAN, Yang Kini Mengalami Pergeseran Makna

Film ini berhasil memotret transformasi emosional Kiran dengan sangat baik. Aghniny Haque memerankan karakter ini dengan begitu dalam dan intens. Penonton akan merasakan setiap lapisan perubahan dalam dirinya—dari ketaatan yang tenang, menuju keraguan yang mengguncang, hingga pemberontakan total yang menuntut pembebasan. Ada keheningan dan kemarahan yang tersimpan dalam tatapannya, dan setiap gerakan tubuhnya mencerminkan perlawanan terhadap sistem yang telah mengkhianatinya. Donny Damara, yang memerankan ayah Kiran, juga memberikan performa yang memukau. Sebagai Tomo, ia berperan sebagai ayah yang terjebak antara kasih sayang terhadap anaknya dan keyakinan agama yang ia anut, menambah kompleksitas dalam konflik emosional yang dihadirkan.

Visual dalam film ini sangat memukau. Hanung Bramantyo menggunakan simbolisme visual yang mendalam untuk menggambarkan kondisi batin Kiran. Adegan-adegan di mana Kiran terlihat sendirian di tengah keramaian kota, atau adegan-adegan dalam ruang sempit dengan pencahayaan gelap, benar-benar menyampaikan perasaan terasing yang Kiran rasakan. Penonton dibawa masuk ke dalam dunia batin Kiran, dan setiap adegan memberikan gambaran yang lebih dalam tentang kekecewaan dan kehancuran yang ia alami.

Selain itu, film ini juga menggunakan musik dengan sangat baik. Musik latar yang digunakan dalam beberapa adegan kunci meningkatkan emosi yang sudah intens di layar. Pada saat-saat di mana Kiran mencapai titik terendah dalam hidupnya, musik melengkapi keheningan yang mencekam, memberi ruang bagi penonton untuk merasakan kepedihan yang begitu mendalam.

Baca Juga :  Ribuan Suku Bangsa Yang Ada di Indonesia

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa film ini mungkin akan terasa berat bagi sebagian penonton. Dengan tema-tema yang penuh dengan kritik terhadap agama, moralitas, dan kemunafikan sosial, film ini menantang pandangan umum dan memaksa penontonnya untuk berpikir dan merenung. Beberapa bagian dari film ini mungkin terasa terlalu lambat, terutama pada pertengahan cerita di mana narasi sedikit melambat untuk membangun eksposisi. Meskipun begitu, ketegangan emosional yang dibangun dari awal hingga akhir film ini cukup untuk membuat penonton tetap terpaku di kursi mereka.

Pada akhirnya, “Tuhan Izinkan Aku Berdosa” adalah film yang berani dan memprovokasi. Ini bukan hanya tentang seorang perempuan yang melawan dunia di sekitarnya, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai manusia sering kali terjebak dalam kebingungan antara dogma dan realitas. Hanung Bramantyo berhasil menciptakan sebuah karya yang penuh dengan kritik sosial yang tajam, namun tetap menyentuh secara personal. Ini adalah film yang tidak hanya menantang moralitas kita, tetapi juga memaksa kita untuk melihat lebih dalam ke dalam diri sendiri dan mempertanyakan apa yang sebenarnya kita yakini.

Bagi mereka yang siap menghadapi tema-tema yang penuh dengan refleksi dan kontroversi, film ini adalah sebuah pengalaman sinematik yang tidak boleh dilewatkan. Dengan cerita yang mendalam, akting yang kuat, dan visual yang menawan, “Tuhan Izinkan Aku Berdosa” akan meninggalkan kesan yang mendalam di benak penontonnya—sebuah kisah tentang kekecewaan, pemberontakan, dan, pada akhirnya, pencarian jati diri. (wapp)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini