Harmoni, Cara Ulama Klasik Menyikapi Perbedaan – MAJALAH NATAR AGUNG

0

nataragung.id, ARTIKEL – Perbedaan pendapat adalah bagian dari kehidupan, termasuk dalam Islam. Bahkan, perbedaan sering kali melahirkan ilmu baru yang memperkaya pemahaman agama. Salah satu kisah yang penuh hikmah adalah perdebatan antara Imam Syafii dan gurunya, Imam Malik, tentang cara memahami rezeki.

Imam Malik, sebagai seorang guru, berpendapat bahwa rezeki datang tanpa sebab. Cukup bertawakal kepada Allah SWT, maka Allah akan mencukupi kebutuhan hamba-Nya. Ia berdalil dengan hadits Nabi SAW: *“Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.” Pendapat ini juga diperkuat oleh firman Allah dalam Surah Hud ayat 6: “Tidak ada satupun makhluk yang bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan semuanya telah dijamin rezekinya oleh Allah.”

Sementara itu, Imam Syafii, sebagai murid, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, rezeki adalah hasil usaha. Ia berdalil dengan firman Allah dalam Surah Al-Jumuah ayat 10: “Jika kalian telah menunaikan shalat, maka bertebarlah kalian di muka bumi untuk mencari karunia Allah, dan banyak-banyaklah mengingat kepada Allah supaya kalian beruntung.”

Baca Juga :  Kenapa Lampung Selatan butuh BPR Syariah?

Perbedaan pendapat ini tidak membuat hubungan keduanya renggang. Suatu hari, Imam Syafii melihat seseorang sedang memanen anggur. Ia menawarkan bantuan dan diberi upah berupa beberapa ikat anggur. Dengan penuh semangat, Imam Syafii membawa anggur itu kepada gurunya. Ia berkata, “Guru, anggur ini saya peroleh karena usaha. Bukankah ini membuktikan bahwa pendapat saya benar?”

Imam Malik tersenyum mendengar itu. Ia menjawab lembut, “Hari ini saya hanya mengajar seperti biasa, tetapi terbersit keinginan untuk makan anggur. Tanpa usaha mencarinya, Allah memenuhinya melalui kamu.” Keduanya tertawa bersama, menunjukkan bagaimana perbedaan pendapat bisa disikapi dengan harmoni.

Kisah ini mengajarkan kita untuk tetap menjaga hubungan baik meski berbeda pandangan. Contoh serupa terjadi di Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Faqih Maskumambang, dua tokoh besar Islam, berbeda pendapat tentang penggunaan kentongan sebagai tanda waktu shalat. Kiai Hasyim melarangnya karena menyerupai lonceng Nasrani, sementara Kiai Faqih membolehkannya. Meski berbeda, mereka tetap saling menghormati dan menjaga ukhuwah.

Baca Juga :  Ribuan Suku Bangsa Yang Ada di Indonesia

Harmoni dalam menyikapi perbedaan ini sangat relevan dalam kehidupan modern. Di tahun politik, perbedaan pilihan dalam pemilu sering kali memicu masalah. Pemilu presiden, DPR, DPD, hingga pilkada serentak pada 27 November 2024 menjadi ajang perbedaan pendapat. Sayangnya, perbedaan ini sering merusak hubungan antartetangga, bahkan antar saudara.

Padahal, perbedaan adalah fitrah manusia. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” Sebagai bangsa Indonesia yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, kita seharusnya menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan alasan perpecahan.

Baca Juga :  Ziarah Kubur Jelang Ramadan sebagai Persiapan Spiritual

Pancasila juga menegaskan pentingnya persatuan. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” mengingatkan kita untuk menjaga harmoni di tengah keragaman. Allah SWT pun berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”

Pemilu yang kita jalani adalah sarana untuk menjaga persatuan bangsa. Dengan niat yang baik, memilih pemimpin bisa menjadi bentuk ibadah dan ketaatan kepada negara. Tentu saja, siapapun pemimpin yang terpilih nanti, kita harus menerimanya dengan lapang dada.

Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan, termasuk calon pemimpin kita. Oleh karena itu, mari kita berdoa agar mampu memilih pemimpin terbaik. Siapapun yang terpilih, tugas kita adalah mendukung dan menjaga persatuan. Sebab, harmoni lebih penting daripada perbedaan pendapat. Dengan sikap ini, kita tidak hanya menjaga bangsa, tapi juga mendapatkan ridha Allah SWT. Wallahu a’lam. (wapp)

Disadur ulang dari laman NuOnline

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini