Asal Usul Serangan Fajar. Oleh : Arista Trisnadi – MAJALAH NATAR AGUNG.

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Serangan fajar adalah istilah yang sudah lekat dalam khazanah politik Indonesia, sebuah metafora yang mendekati romantisme sekaligus ironi. Ia menyiratkan sesuatu yang tiba-tiba, menembus keheningan malam, dan menggoyahkan apa yang sudah diam-diam dipercaya. Namun, apa yang tampak sekilas sebagai kemenangan strategis sebenarnya adalah kekalahan moral yang tertunda.

Istilah ini berakar pada praktik politik uang yang kerap terjadi menjelang pemilihan umum. Sebelum fajar benar-benar merekah, orang-orang berkeliaran, mengetuk pintu, menyelipkan amplop berisi uang, sembari berharap, atau lebih tepatnya menuntut, suara. Serangan ini bukan hanya taktik; ia adalah budaya yang tumbuh subur dalam sistem yang diam-diam menerima ketidakseimbangan.

Baca Juga :  Memetik Tradisi Ramadhan dari Tanah Suci. Oleh : Gunawan Handoko *)

Asal usulnya mungkin tak bisa dilacak ke satu momen tunggal. Dalam politik, sebagaimana dalam sejarah, sering kali tidak ada satu awal yang bisa dituding sebagai biang keladi. Tetapi, serangan fajar lahir dari rahim korupsi yang jauh lebih tua, bahkan mungkin setua negeri ini sendiri. Ia mewujud dari kegagalan institusi, kesenjangan ekonomi, dan keputusasaan yang memaksa rakyat kecil menjual hak politiknya demi kebutuhan mendesak.

Serangan fajar adalah anak kandung dari relasi kuasa yang timpang. Di satu sisi, ia menunjukkan betapa suara rakyat begitu berharga hingga harus “dibeli.” Namun di sisi lain, ia menjadi bukti bahwa harga itu, pada kenyataannya, murah. Amplop-amplop itu bukan hanya alat tawar-menawar; ia adalah simbol betapa politik telah direndahkan menjadi transaksi.

Baca Juga :  Bantuan Banjir dari Pusat Harus Berkeadilan. Oleh : Gunawan Handoko *)

Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan moral yang lebih besar: apakah suara yang dibeli masih memiliki makna sebagai ekspresi kehendak? Atau, dalam realitas yang keras, justru di sinilah kehendak rakyat menemukan bentuknya—meski hanya sementara, meski dalam bentuk amplop yang segera habis dipakai?

Kita bisa membaca serangan fajar sebagai peringatan. Ia adalah potret kebudayaan politik kita: pragmatis, oportunis, sekaligus rapuh. Seperti fajar itu sendiri, ia mungkin menyiratkan awal, tetapi awal yang suram—sebuah siklus yang terus berulang tanpa harapan matahari akan benar-benar bersinar penuh.

Baca Juga :  Retreat, Buku Lama Sampul Baru. Oleh HM.Habib Purnomo *)

Dalam serangan fajar, kita melihat refleksi diri sebagai bangsa. Ia adalah cermin yang memaksa kita bertanya: apakah kita benar-benar ingin merdeka, atau cukup puas hidup dalam bayangan kebebasan yang terus dijual murah? (**)

Penulis adalah Penikmat Politik. Tinggal di Bandar Lampung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini