nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Hujan deras yang terjadi pada 17 Januari 2025 lalu telah mendatangkan bencana banjir di wilayah provinsi Lampung dan banjir terbesar terjadi di kota Bandar Lampung yang merupakan ibukota provinsi Lampung. Hampir seluruh wilayah Bandar Lampung terendam banjir yang berakibat kerugian dan sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat.
Penulis bukan hendak memaparkan data tentang berapa banyak warga masyarakat yang kehilangan rumah akibat hancur, terendam air atau hanyut terbawa banjir. Penulis juga tidak tahu secara persis berapa jumlah warga yang terpaksa harus mengungsi secara ’mandiri’, termasuk berapa besar kerugian materiil akibat banjir tersebut. Yang pasti ada dua orang korban meninggal dunia akibat terbawa air dan satu orang lagi akibat tersengat arus listrik.
Bencana banjir di kota Bandar Lampung yang terjadi selama ini tentu sangat merugikan. Selain melumpuhkan roda perekonomian, kerugian materi yang diderita masyarakat pun sangat tinggi di banding kerugian banjir yang dialami masyarakat di pedesaan. Memasuki hari ke empat terjadinya bencana, kita masih dapat menyaksikan ribuan manusia yang duduk termangu dengan tatapan kosong dan bayi mungil yang kedinginan dalam pelukan ibunya. Sesekali mereka tersenyum menyambut orang-orang baik yang datang menghampiri sambil memberi bantuan.
Dari perbincangan kecil dapat terbaca bahwa para korban tidak banyak menuntut untuk mendapat pelayanan yang memadai dari Pemerintah, baik masalah tempat pengungsian maupun kebutuhan makan minum dan kesehatan. Mereka lebih memilih pasrah dan masih meyakini bahwa semua ini terjadi karena murkanya Tuhan atau peringatan Illahi kepada umat manusia. Hanya saja yang mereka sesalkan, mengapa bencana banjir ini selalu hadir setiap musim hujan datang, dan mengapa yang menjadi korban adalah kaum yang lemah dan miskin.
Padahal dalam kenyataan sehari-hari mereka tergolong makhluk yang nrimo, tidak pernah korupsi dan perilaku curang lainnya. Teori apapun, termasuk teoritisasi sastra-sosial yang percaya kepada marxisme tidak akan mampu menjelaskan mengapa mereka yang harus secara terus menerus menjadi pelengkap penderita? Meski harta benda yang mereka miliki menjadi luluh lantak di terjang bencana banjir, namun tetap tegar dan sabar serta masih percaya dengan janji-janji manis penguasa.
Sebagian dari mereka sangat percaya pada filsafat Cakra Manggilingan yang mengibaratkan hidup ini seperti putaran roda, kadang berada dibawah dan kadang diatas. Meski hanya sebagai aliran filsafat, namun terbukti sangat ampuh dan mampu memberi kekuatan batin, membangkitkan semangat dan harapan bahwa pada suatu saat roda akan berputar ke atas. Hari ini perlu pengakuan secara jujur bahwa kita – terutama Pemerintah – telah banyak melakukan kesalahan di dalam mengelola kota Bandar Lampung ini.
Permasalahan klasik yang terjadi di kota Bandarlampung selama ini adalah terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan air pada musim kemarau. Hal ini terjadi karena pertumbuhan penduduk di kota Bandarlampung sangat pesat akibat tingginya arus urbanisasi. Akhirnya jumlah dan kepadatan penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan lahan pemukiman yang ada. Akibatnya mereka merambah di lahan-lahan ‘haram’ seperti lereng bukit, bantaran sungai, pinggiran rel kereta api dan tepian pantai. Sementara kemampuan saluran drainase sebagai penampung air limpasan sangat terbatas, bahkan sebagian drainase yang ada di wilayah perkotaan tidak berfungsi dengan baik sehingga memperparah terjadinya banjir.
Akibat lain, terjadi pula penurunan permukaan air tanah di beberapa tempat akibat adanya penurunan kemampuan tanah untuk meresap air. Yang dilakukan selama ini hanya pengerukan sedimen pada drainase kota yang dibarengi bersih-bersih kali, namun tidak membuat kota Bandarlampung terbebas dari banjir. Pasalnya, banyak diantara bangunan drainase kota yang sudah tertutup dengan plat beton sehingga sulit untuk dilakukan pemeliharaan maupun rehabilitasi.
Pemkot Bandar Lampung telah kehilangan jejak terhadap bangunan drainase yang ada, baik yang pernah dibangun oleh Pemerintah maupun masyarakat atau pengusaha. Maka menjadi sulit untuk mendeteksi apakah drainase tersebut masih dapat berfungsi untuk menerima limpahan air atau justru sebaliknya, menyumbat aliran air. Langkah darurat yang dilakukan selama ini adalah membuat sodetan-sodetan ditempat yang terjadi banjir. Langkah tersebut hanya mampu untuk mengurangi genangan air yang biasa terjadi di jalan-jalan protokol, sementara banjir yang ada ditengah-tengah wilayah permukiman tidak berkurang. Air hanya berputar-putar di sekitar wilayah itu, karena bingung mau lari kemana.
Sesungguhnya air itu merupakan rahmat Tuhan yang tidak ternilai besarnya, namun karena tidak dikelola dengan baik, nikmat Tuhan itu justru sering menimbulkan masalah. Akibatnya di musim penghujan selalu terjadi banjir yang disertai longsor dan erosi. Sebaliknya, di musim kemarau di beberapa wilayah kota menderita kekurangan air. Jika kota Bandar Lampung tidak ingin menjadi pelanggan banjir, maka harus berani untuk melakukan perbaikan total atau grand desain terhadap drainase kota. Upaya penanganan yang dilakukan selama ini tidak akan mampu menjawab persoalan besar yang sesungguhnya. Diakui memang bahwa untuk merealisasikannya butuh biaya yang cukup besar. Lebih baik keluar biaya besar namun bisa menuntaskan masalah ketimbang harus keluar biaya pemeliharaan rutin yang hanya mampu mengatasi bencana sesaat.
Bencana telah terjadi, saatnya kita semua untuk berbenah diri. Ada pesan arif dari para pemerhati lingkungan sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum lingkungan benar-benar mengalami kehancuran. “Manakala sawah dan rawa tidak lagi berfungsi sebagai pengendali air, gunung dan bukit tidak lagi ditumbuhi pepohonan dan berubah dengan rumah-rumah beton dan kaca, maka sesungguhnya kita sedang menuju pada kehancuran lingkungan”.
*) Pemerhati Masalah Sosial dan Permukiman, tinggal di Bandar Lampung.