nataragung.id NATAR – Hidup ini adalah perjalanan panjang. Sepanjang usia yang ditetapkan. Dalam perjalanan yang panjang akan banyak tikunga-tikungan yang kadang tajam, curam dan di sana-sini lobang.
Tapi tak sedikit juga taman-taman yang penuh semerbak bunga-bunga yang menggoda. Atau oase yang dapat menghilang dahaga dan membuat betah.
Seorang ksatria (Rijal) itu dapat dilihat dari caranya menentukan sikap (mawaqif) terhadap pilihan pilihan hidup.
Dalam pribahasa Arab terkenal ungkapan “ARRIJAALU MAWAAQIF”. Jika hal itu menjadi prinsip, maka bertahan dalam prinsip tersebut adalah tuntutan apapun resikonya.
Tak perduli harta akan melayang atau jabatan harus hilang. Tak akan pernah ada tawar menawar, ragu atau menjualnya dengan harga yang murah.
Ketika kaum kafir Quraisy kehabisan akal untuk menghentikan lajunya dakwah pada priode Makkah, mereka mendatangi pamannya Abu Thalib. Mereka menawarkan Harta yang banyak, jabatan yang menggiurkan dan wanita wanita yang jelita. Semuanya beliau tolak dengan mengatakan perkataannya yang lantang dan mengguncang tanpa ragu sedikitpun.
“Wahai pamanku, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan urusan ini, saya tidak akan meninggalkan nanya walaupun saya harus binasa”.
Inilah Shuhaib Arrumi, meninggalkan seluruh Harta kekayaannya di Makkah, dan menyerahkannya dengan suka rela kepada orang kafir Quraisy yang mengejarnya
Mau tahu berapa banyak kekayaannya?. Sebanyak delapan kali lipat kekayaan seseorang yang terkaya dari kafir Quraisy.
Ketika sampai di Madinah Rasulullah saw langsung menyambutnya dengan perkataan yang jika ditimbang dengan seluruh isi dunia lebih ia sukai. “Beruntunglah perniagaanmu wahai Shuhaib…”
Inilah Mush’ab bin Umair, seorang pemuda yang parlente, ganteng dan tajir disenang para wanita wanita Mekkah. Ketika masuk Islam, seluruh fasilitas hidup yang disediakan untuknya ditarik dan dilucuti.
Tidak ada lagi pakaian licin, minyak wangi yang harum semerbak, uang di dompet dan kendaraan kuda yang bagus.
Semua resiko tersebut ia terima dengan lapang dada. Ia menyadari inilah konsekuinsi atas sikapnya. Tak ada penyesalan sedikitpun. Sampai akhirnya ia meninggal pada perang Uhud, dimana hartanya tidak cukup hanya untuk membeli kain kafan.
Dan masih banyak lagi contoh dari para sahabat yang teguh memegang prinsip dan berani mengambil resiko.
Ketika tukang sihir Fir’aun mengetahui hakikat yang sebenarnya, mereka langsung menyatakan keimanannya terhadap nabi Musa di depan Firaun.
Mereka diancam untuk disalib dengan memotong kaki dan tangan mereka.
“Demi, sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya”.(Qs. 7:124)
Namun mereka tidak pernah takut akan resiko yang akan menimpa mereka akibat sikap yang melukai Firaun.
Ahli-ahli sihir itu menjawab: “Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali”. (Qs. 7:125)
“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami”.
(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)”. (Qs. 7:126)
Begitulah sejarah bercerita kepada kita bahwa setiap sikap dan keputusan pasti ada resiko dan harga.
Maka ketika sesuatu itu sudah kita yakini kebenarannya dan diri kita tenang dengannya, maka sikap yang terbaik adalah bertahan apapun resikonya.
Sebab di situ ada kebahagian hakiki yang tak dapat ditukar dengan sebesar apapun harta dunia. <->
Penulis adalah Anggota Majelis Syura DDII Propinsi Lampung, tinggal di Pemanggilan, Natar.