nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Tata krama dan unggah-ungguh merupakan bagian penting dari budaya masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Lampung, nilai ini tidak hanya menjadi etika sosial, tetapi telah membentuk tatanan hidup yang harmonis berdasarkan falsafah hidup tradisional. Tata krama dan unggah-ungguh menjadi landasan dalam membina hubungan antarpersonal, menjaga martabat diri dan orang lain, serta menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Makna Filosofis Tata Krama dan Unggah-Ungguh ala Lampung.
Dalam masyarakat Lampung, khususnya suku Saibatin dan Pepadun, tata krama disebut juga sebagai “Pi’il Pesenggikhi” atau “Pusanggikhi”, yakni sistem nilai yang mengajarkan harga diri, rasa malu (tampal), tahu diri (adek), dan hormat terhadap sesama (sembah sujud).
Unggah-ungguh atau aturan sopan santun tidak hanya berkaitan dengan perilaku fisik, tetapi juga meliputi cara berbicara, berpakaian, bersikap terhadap yang lebih tua, dan berinteraksi dalam masyarakat. Kesantunan dalam tutur kata dan tindakan dianggap sebagai cerminan dari kehormatan keluarga dan suku.
Implementasi dalam Pergaulan Sehari-Hari
Berikut beberapa contoh implementasi filosofi tata krama dan unggah-ungguh dalam kehidupan masyarakat Lampung:
1. Menghormati Orang yang Lebih Tua
Dalam keluarga maupun lingkungan sosial, anak-anak Lampung diajarkan untuk menghormati orang tua dan tetua. Dalam berbicara kepada orang yang lebih tua, digunakan bahasa yang halus dan nada yang lembut. Tidak diperkenankan menyela pembicaraan atau menunjukkan gestur kasar.
2. Sopan Santun dalam Bertamu.
Saat berkunjung ke rumah orang lain, warga Lampung akan mengucap salam, menunggu dipersilakan masuk, serta menjaga tutur kata. Duduk pun diatur agar tidak lebih tinggi dari tuan rumah atau orang yang dituakan.
3. Pakaian yang Sopan dan Pantas
Cara berpakaian mencerminkan kehormatan diri. Dalam acara adat atau pertemuan formal, warga Lampung mengenakan busana tradisional dengan tata cara khusus yang menunjukkan rasa hormat terhadap acara dan orang-orang yang hadir.
4. Bahasa yang Beradab
Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Lampung menggunakan bahasa daerah yang mengandung lapisan (tingkatan) kesopanan. Misalnya, terdapat perbedaan antara bahasa untuk teman sebaya dengan bahasa untuk orang yang lebih tua atau dihormati.
5. Menjaga Sikap di Depan Umum
Sikap tubuh, mimik wajah, dan ekspresi juga dijaga. Tertawa berlebihan, bicara keras, atau bersikap mencolok dianggap tidak sopan, apalagi di hadapan tamu atau tetua adat.
6. Tidak Membantah di Depan Umum.
Jika ada perbedaan pendapat dengan orang yang lebih tua atau tokoh masyarakat, warga Lampung akan menyampaikannya secara halus, sering kali di tempat yang lebih pribadi, agar tidak menyinggung perasaan dan menjaga wibawa.
Peran Tata Krama dalam Menjaga Keharmonisan Sosial.
Filosofi tata krama dan unggah-ungguh bukan sekadar etiket pribadi, tetapi merupakan mekanisme sosial untuk menjaga tata nilai, martabat, dan harmoni antarwarga. Dalam acara adat, musyawarah, hingga kehidupan bertetangga, semua dijalankan dengan aturan kesopanan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Selain menjadi panduan dalam pergaulan, tata krama ini juga membangun karakter masyarakat yang beradab dan saling menghormati, serta menjadi identitas kebudayaan Lampung yang unik.
Kesimpulan.
Tata krama dan unggah-ungguh dalam masyarakat Lampung bukanlah sekadar aturan sopan santun, melainkan bagian dari falsafah hidup yang mengajarkan pentingnya penghormatan, harga diri, dan keseimbangan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai ini terus dijaga dan diwariskan sebagai bentuk pelestarian budaya serta pedoman moral dalam membangun masyarakat yang harmonis dan beradab.
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.