nataragung.id – JAKARTA – Ada nasihat yang tampaknya teduh (dari Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni), namun membawa gema panjang dalam percakapan publik: “Pak Jokowi sebaiknya menikmati hidup saja, seperti Pak SBY.”
Tapi, apa sebenarnya makna dari βmenikmati hidupβ itu? Apakah itu artinya menyepi dan menghindari politik, atau justru hadir dan tetap menyapa rakyat dengan caranya sendiri?
Pak SBY, yang sering dijadikan rujukan untuk “menjauh dari hiruk-pikuk politik”, hingga hari ini masih tercatat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokratβposisi yang tentu strategis dan penuh perhitungan politik. Maka, ketika Pak Jokowi dikritik karena ingin tetap berkegiatan politik setelah purnatugas, misalnya dengan bergabung ke PSI, pertanyaan mendasarnya bukan: “Apakah ini salah?”, tapi: “Apa yang salah dengan itu?”
Menikmati hidup bukan selalu soal menjauh. Bagi Pak SBY, mungkin itu adalah melukis, bermusik, dan sesekali meracik strategi politik dari balik layar. Bagi Pak Jokowi, menikmati hidup bisa jadi adalah menyusuri desa-desa, menyapa rakyat jelata, bercengkerama dengan cucu-cucunya, membuka pintu buat rakyat yang bersilaturahmi nyaris tanpa jeda, lalu tetap merawat semangat kerja dan makna, agar cinta rakyat yang tulus itu tak dibiarkan usang.
Apa yang salah bila seseorang memilih tetap bermakna, bahkan setelah tak lagi berkuasa?
Bukankah hidup yang layak dinikmati adalah hidup yang tetap memberi arti?
Dan kitaβsetiap anak bangsa, punya hak yang sama untuk berkarya, berkontribusi, dan menjawab panggilan moral untuk menjadi bagian dari cerita negeri iniβtak peduli apa label kita: mantan presiden, pelukis, tukang kayu, atau rakyat biasa.
Karena kadang, justru dari mereka yang tak lagi memegang kekuasaan, muncul ketulusan yang tak tercemar agenda.
Dan dari mereka yang terus hadirβbukan demi posisi, tapi demi maknaβlahir harapan baru untuk republik yang tak pernah kehilangan arah.
*) Penulis adalah Profesional (Former), CEO Perusahaan Swasta, Penulis Buku, Kolumnis KOMPAS.