Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin dan Pepadun. SERI 4: Tata Cara Pengangkatan Penyimbang dan Tradisi Adat Yang Menyertainya Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Masyarakat adat Lampung dikenal dengan sistem sosial dan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur, spiritualitas, serta kearifan lokal. Salah satu institusi utama dalam struktur masyarakat adat tersebut adalah Penyimbang, yaitu pemegang otoritas adat dan simbol keutuhan komunitas.
Dalam konteks ini, pengangkatan seseorang menjadi Penyimbang bukanlah perkara sederhana, melainkan melalui proses adat yang panjang, simbolik, dan sarat makna spiritual.
Artikel ini membahas secara mendalam tata cara pengangkatan Penyimbang dalam dua sistem adat utama di Lampung, yaitu Sai Batin dan Pepadun, dengan penekanan pada praktik, simbolisme, serta makna keberlanjutan sosial dan budaya yang dikandungnya.

Prosedur Pengangkatan Penyimbang dalam Sistem Adat Pepadun dan Sai Batin.

Pengangkatan Penyimbang dalam dua sistem adat Lampung memiliki mekanisme yang berbeda secara prosedural namun bertemu dalam tujuan yang sama: melestarikan nilai-nilai budaya dan menjaga stabilitas komunitas.

Pada masyarakat adat Pepadun, proses pengangkatan seseorang menjadi Penyimbang disebut dengan “naik pepadun.” Ini adalah sebuah prosesi sakral yang melibatkan serangkaian tahapan dan upacara adat yang dilaksanakan secara kolektif dan meriah.

Seseorang yang akan naik pepadun biasanya telah menunjukkan kapabilitas moral, sosial, dan ekonomi yang cukup. Proses ini dimulai dengan permusyawaratan keluarga dan masyarakat adat, diikuti dengan persiapan begawi (upacara adat besar), dan puncaknya adalah penobatan sebagai Penyimbang oleh Penyimbang utama atau tetua adat. Dalam upacara ini, calon Penyimbang menerima gelar adat yang resmi dan diakui oleh seluruh komunitas adat serta berhak memimpin suku, marga, atau tiyuh (desa adat).
Sebaliknya, dalam sistem Sai Batin, pengangkatan Penyimbang bersifat lebih ketat secara genealogis. Gelar Penyimbang hanya bisa diwariskan kepada anak kandung, khususnya yang dianggap layak secara spiritual dan sosial.
Prosedur pengangkatan biasanya tidak melibatkan prosesi besar seperti di Pepadun, namun tetap dilakukan dengan sakralitas tinggi. Musyawarah keluarga besar digelar untuk menyepakati pewarisan gelar, dan penobatan dilakukan dalam upacara yang lebih tertutup namun tetap sarat makna dan simbol.

Baca Juga :  Tuping Bukan Milik Keluarga Tertentu (Klarifikasi Sejarah & Warisan Budaya Masyarakat Adat Lampung) Oleh : Doni Afandi, SE / Kakhiya Pukhba Makuta *)

Syarat Etis, Genealogis, dan Sosial.

Syarat utama untuk menjadi Penyimbang dalam kedua sistem adat meliputi tiga aspek penting: etis, genealogis, dan sosial. Dalam hal etika, seorang calon Penyimbang harus menunjukkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat seperti pi’il-pusanggiri (harga diri dan martabat), nengah-nyappur (keterlibatan sosial), nemui-nyimah (keramahan), dan sakai-sambaian (gotong-royong). Ia harus menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi sosial maupun dalam praktik spiritual.

Secara genealogis, sistem Sai Batin mensyaratkan bahwa gelar Penyimbang hanya bisa diwariskan melalui garis keturunan, biasanya dari ayah ke anak laki-laki tertua. Sementara itu, pada sistem Pepadun, meski garis keturunan juga menjadi pertimbangan, namun pengangkatan dapat dilakukan melalui pengakuan sosial.
Artinya, seseorang yang bukan keturunan langsung bisa diangkat menjadi Penyimbang apabila mampu memenuhi kriteria adat dan didukung oleh komunitas.

Aspek sosial mencakup kemampuan seseorang dalam membina masyarakat, memahami hukum adat, serta memiliki kemampuan ekonomi untuk menyelenggarakan begawi. Hal ini penting karena prosesi begawi membutuhkan biaya besar, termasuk penyediaan makanan, tempat, pakaian adat, serta perlengkapan upacara lainnya. Oleh karena itu, calon Penyimbang harus memiliki dukungan moral dan material yang kuat dari keluarga dan masyarakatnya.

Prosesi Adat dan Simbol-Simbol Sakral.

Prosesi pengangkatan Penyimbang, khususnya dalam sistem Pepadun, ditandai dengan upacara besar yang dikenal dengan nama begawi adat. Prosesi ini melibatkan rangkaian tahapan simbolik yang menyimbolkan transformasi sosial dan spiritual seseorang menjadi tokoh adat.
Prosesi dimulai dengan arak-arakan calon Penyimbang menuju balai adat, diiringi dengan tetabuhan tradisional, tari sembah, dan pembacaan petatah-petitih oleh tetua adat.

Baca Juga :  Makna di Balik Tradisi Adat Saat Pindah Rumah di Lampung. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Salah satu simbol penting dalam upacara ini adalah penggunaan “tumpal” atau mahkota adat, yang dikenakan oleh calon Penyimbang sebagai tanda legitimasi. Selain itu, kain tapis dan selendang songket yang dikenakan memiliki makna status sosial dan kearifan lokal yang diwariskan.

Di atas panggung adat (balai), calon Penyimbang menjalani prosesi pengukuhan melalui pembacaan doa adat, penyerahan simbol-simbol kepemimpinan seperti tombak, keris, atau tongkat adat.

Dalam sistem Sai Batin, prosesi lebih sederhana namun tetap sarat simbolisme. Upacara dilakukan di rumah adat tertua, dengan persembahan kepada leluhur, pembacaan mantera, dan pemasangan simbol adat seperti ikat kepala, keris pusaka, atau kain pusaka keluarga.

Penyimbang baru akan diberi wejangan oleh Penyimbang tertua, dan secara simbolik menerima beban spiritual dan sosial sebagai penjaga adat.
Simbolisme dalam prosesi ini menunjukkan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini. Upacara bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai ritual transformasi yang mengikat individu dengan masyarakat dan kosmos. Ia menjadi medium transendental yang menjadikan Penyimbang tidak hanya sebagai pemimpin administratif, melainkan juga sebagai figur spiritual dan kultural.

Perbedaan dan Persamaan antara Pepadun dan Sai Batin.

Meskipun sama-sama mengakui keberadaan Penyimbang sebagai pemimpin adat, kedua sistem menunjukkan perbedaan yang mendasar dalam proses pengangkatannya. Dalam Pepadun, pengangkatan bisa dilakukan melalui proses adat (naik pepadun) yang terbuka dan berbasis pengakuan sosial.
Ini mencerminkan sistem yang relatif terbuka dan demokratis. Seseorang yang menunjukkan kapasitas sosial dan spiritual yang memadai dapat diangkat menjadi Penyimbang meskipun bukan dari garis keturunan langsung.
Sebaliknya, dalam sistem Sai Batin, gelar Penyimbang bersifat eksklusif dan diwariskan secara turun-temurun. Mekanisme ini mencerminkan struktur sosial yang lebih aristokratik dan hierarkis. Oleh karena itu, ruang mobilitas sosial lebih terbatas dalam sistem Sai Batin, meskipun nilai-nilai etika dan spiritual tetap menjadi dasar pertimbangan utama.
Namun, persamaan antara keduanya terletak pada nilai-nilai inti yang diusung: tanggung jawab moral, spiritualitas, dan komitmen terhadap pelestarian adat. Kedua sistem menempatkan Penyimbang sebagai penjaga budaya, pemersatu masyarakat, dan jembatan antara manusia dengan alam serta leluhur.
Dalam konteks ini, penyelenggaraan upacara pengangkatan menjadi momen sakral yang merepresentasikan kesinambungan budaya dan keberlanjutan identitas komunitas.

Baca Juga :  Adat dalam Penyelesaian Perkawinan dan Warisan. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Praktik, Simbolisme, dan Keberlanjutan Gelar Penyimbang.

Pengangkatan Penyimbang dalam tradisi adat Lampung bukanlah sekadar pemberian gelar, tetapi merupakan bagian dari sistem nilai yang kompleks dan sakral. Prosesi ini mengandung dimensi sosial, budaya, dan spiritual yang mendalam, serta mencerminkan struktur sosial masyarakat Lampung yang berakar kuat pada warisan nenek moyang.
Keberlanjutan tradisi ini sangat bergantung pada komitmen komunitas adat untuk menjaga nilai-nilai lokal di tengah arus modernisasi. Dengan menjunjung tinggi prosesi adat dan simbolisme yang menyertainya, masyarakat Lampung tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkuat identitas kolektif mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang multikultural.
Melalui pemahaman yang lebih dalam terhadap tata cara pengangkatan Penyimbang dan makna yang dikandungnya, generasi muda Lampung diharapkan mampu melanjutkan tradisi ini dengan bijaksana dan relevan dengan tantangan zaman. Tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan fondasi yang kuat untuk membangun masa depan yang bermartabat dan berakar pada jati diri budaya.

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini