Syaikhona Kholil Bangkalan

0

nataragung.id – JELAJAH NUSANTARA – KH Muhammad Kholil bin Abdul Lathif atau Mbah Kholil adalah ulama besar Indonesia yang berasal dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Karenanya, di belakang namanya, ada nama Bangkalan.

Mbah Kholil juga dikenal dengan sebutan Syaikhona Kholil Bangkalan. Penyebutan syaikhona di depan namanya merupakan bentuk penghormatan karena beliau adalah guru dari para syekh atau ulama tanah AIR

Tak terhitung santri-santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar dan berpengaruh. Salah satunya KH Hasyim Asy’ari, pendiri NAHDLOTUL ULAMA’

Syaikh Kholil (biasa disebut Mbah Kholil) lahir pada hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M. Ia berasal dari keluarga ulama

Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai Abdul Karim. Kiai Abdul Karim adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman.

Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati yang merupakan kakek moyangnya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqh dan nahwu, sangat luar biasa.

Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orangtua Mbah Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Baca Juga :  Jelang HUT Ke-79 TNI Tahun 2024 Prajurit Dan PNS TNI Wilayah Lampung melaksanakan Ziarah Nasional

Belajar ke Pesantren
Ini sejumlah turots atau Kitab peninggalan Syaikhona Kholil Bangkalan
Ini sejumlah turots atau Kitab peninggalan Syaikhona Kholil Bangkalan
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh tahun, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.

Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -selama perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama belajar kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat baginya untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomian cukup berada.

Baca Juga :  Andi Warisno Ucapkan Selamat atas Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan kitab, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Di samping itu beliau juga seorang Hafidz al-Quran. Beliau mampu membaca al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh model membaca al-Quran).

Belajar ke Makkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga tampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah. Karena pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya itu, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluar, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya.

Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya.

Baca Juga :  Seruan Aksi Nasional Tolak Penundaan Pengangkatan CASN/PPPK 2024 di Undur

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 39 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Makkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian ia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Sewaktu berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.

Dari berbagai sumber

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini