nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Nampaknya Pemerintah masih merasa bangga dan tetap ingin menampilkan wajah Indonesia yang dipenuhi oleh ribuan massa yang panik dengan wajah muram, kusam bercampur geram berdesak-desakan untuk sekedar mendapatkan kebutuhan dapur. Dengan dalih operasi pasar untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok, setiap tahun Pemerintah secara serempak dan kompak menggelar pasar murah, khususnya menjelang bulan Ramadan, tahun baru dan hari besar lainnya.
Ribuan masyakarat yang di dominasi emak-emak datang menyerbu, lalu berdiri dengan rapih membentuk antrian panjang sesuai kebiasaan. Mereka rela menunggu berjam-jam lamanya demi untuk mendapatkan 5 kilogram beras, sebotol minyak goreng dan bahan sembako lainnya dengan harga sedikit murah dibanding harga pasar.
Semakin panjang antrian, maka gelaran pasar murah dianggap sukses dan berhasil. Itulah potret yang terjadi di negeri ini yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Membiarkan masyarakat berdiri berjam-jam di bawah panasnya terik matahari dan tidak jarang harus diguyur hujan. Jangan bertanya apakah hal seperti ini manusiawi, nyatanya masyarakat rela untuk menjalaninya.
Hari-hari ini antrian panjang kembali terjadi di beberapa wilayah yang di dominasi kaum ibu-ibu hanya untuk mendapatkan gas elpiji 3 kilogram (Kg). Akibat lamanya mengantri, banyak diantara warga yang ambruk dan lemas karena kelelahan. Semua gambaran suram ini sebagai akibat dari rangkaian krisis yang semakin berat yang dialami bangsa ini seperti krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis lainnya. Berbagai krisis tersebut telah membawa bangsa ini kepada ketidakpastian masa depan.
Sungguh ironis dan menyedihkan. Semua ini bisa terjadi akibat Pemerintah tidak mampu dalam menjalankan tata kelola penyaluran gas elpiji 3 kg yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Seringkali krisis justru disebabkan kegagalan Pemerintah dalam melaksanakan skenario terhadap kebijakan yang akan diambil.
Larangan penjualan gas elpiji 3 kg di pengecer dan dialihkan ke pangkalan atau sub penyalur resmi PT. Pertamina merupakan kebijakan yang ceroboh dan menyusahkan rakyat. Pasalnya jumlah sub penyalur yang ada tidak sebanding dengan jumlah masyarakat sebagai konsumen yang membutuhkan. Ditambah lagi gas elpiji 3 kg tersebut saat ini mulai langka di pasaran, termasuk gas elpiji berukuran besar. Pemerintah juga tidak menjelaskan secara jujur penyebab kelangkaan stok tabung gas elpiji ini. Yang dilakukan Pemerintah justru memberikan penekanan agar masyarakat dapat mematuhi aturan, bahwa gas elpiji 3 kg tersebut merupakan gas subsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat tertentu, seperti rumah tangga, usaha mikro perorangan untuk mendukung usahanya, petani yang memiliki lahan pertanian maksimal setengah hektare dan nelayan yang telah menerima bantuan paket perdana elpiji dari Pemerintah.
Lalu, untuk memastikan subsidi tersebut tepat sasaran, masyarakat yang termasuk kelompok diatas masih diwajibkan mendaftar dengan membawa kartu tanda penduduk (KTP) ke agen atau sub penyalur resmi. Setelah terdaftar, untuk pembelian elpiji 3 kg dapat dilayani dengan menunjukkan KTP. Maka banyak masyarakat yang menilai bahwa kebijakan Pemerintah terkait pembelian gas elpiji 3 kg merupakan keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan terkesan ngawur dan keterlaluan. Alih-alih menjadi solusi, justru menyulitkan banyak orang dan menimbulkan polemik yang luas.
Di kalangan masyarakat terjadi kegelisahan, khususnya mereka yang berada di kalangan kelas bawah yang terlanjur menggantungkan gas elpiji 3 kg untuk keperluan memasak. Bagi rakyat kecil aturan ini semakin menambah beban hidup yang sudah berat. Bahkan masyarakat dari kalangan menengah pun mulai merasakan efek domino dari kebijakan ini. Maka Pemerintah harus segera mengambil langkah konkrit agar masyarakat kecil dan pelaku usaha ekonomi mikro tidak semakin terbebani akibat sulitnya mendapatkan elpiji subsidi. Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa stok elpiji mencukupi, mengingat dalam hitungan hari akan memasuki bulan Ramadan. Jangan sampai umat muslim terganggu ibadahnya akibat kesulitan untuk mendapatkan elpiji melon.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia harus bisa membuktikan pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa tidak ada kelangkaan elpiji, melainkan hanya pembatasan pembelian. Nyatanya realitas yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan pernyataan. Kalau memang tidak bisa disebut langka, mengapa sampai terjadi antrian panjang di berbagai daerah. Jangan sampai kebijakan yang awalnya bertujuan baik justru menyulitkan masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Pemerintah dan PT. Pertamina harus segera melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Selain kuota elpiji 3 kg harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, evaluasi terhadap mekanisme distribusi juga harus segera dilakukan. Jika sistem distribusi melalui pangkalan resmi mengalami kendala, maka Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih fleksibel tanpa mengorbankan efektivitas subsidi. Hal yang tidak kalah penting lagi adalah pengawasan harga di lapangan harus diperketat, karena kelangkaan elpiji 3 kg ini sangat berpotensi dimanfaatkan para spekulan untuk menaikkan harga.
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial tinggal di Bandar Lampung