Imaji Kebangsaan. Oleh : Gunawan Handoko. Mantan Aktivis Organisasi Kepemudaan, tinggal di Bandar Lampung

0

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Hari ini bertepatan 20 Mei 2025 genap 117 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) bagi bangsa Indonesia. Usia yang cukup tua dan seharusnya telah mampu mematangkan nilai-nilai dari semangat kebangkitan itu sendiri. Di masa lalu bangsa kita pernah jaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan pada jaman Majapahit telah terikrar penyatuan Nusantara oleh Patih Gajah Mada dengan sumpah Palapanya.

Penyatuan Nusantara pada masa itu jauh lebih luas dibanding cakupan organisasi Boedi Oetomo yang hanya meliputi pulau Jawa saja. Momentum berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 secara politis telah disepakati sebagai tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia di dalam mencapai kemerdekaan. Bahkan, secara kultural historis, para ahli sejarah dan pakar politik selalu menempatkan peristiwa tersebut sebagai titik awal pergerakan dimulainya perjalanan sejarah baru bagi bangsa Indonesia.

Kemudian dalam perjalanan waktu, dipertegas dengan ikrar Sumpah Pemuda yang merupakan bukti otentik dimana pada 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Suatu bangsa yang dibangun diatas dasar sebuah keinginan yang kuat, dilandasi semangat perjuangan yang tidak dibatasi oleh waktu demi untuk melepaskan diri dari kekuasaan kaum kolonialis. Kondisi ketertindasan inilah sesungguhnya yang telah mendorong para pemuda untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia. Tekad ini pula yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Makna penting di balik peristiwa tersebut adalah keberanian kaum muda dalam menolak kembali kehadiran kolonialisme di negeri ini. Semua ini tidak akan terwujud tanpa adanya kesadaran kolektif atas imaji kebangsaan yang dicita-citakan. Imaji kebangsaan yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menggerakkan pikiran dan tindakan kaum muda untuk berani menentang kembali kolonialisme dan neokolonialisme yang mengancam eksistensi negara dan bangsa. Di masa itu, kekuatan imaji kebangsaan kaum muda dapat diandalkan dalam meraih cita-cita mulia negara yang merdeka dan berdaulat.

Baca Juga :  Dua Wajah Cina dalam Geopolitik Global. Oleh: M. Habib Purnomo *)

Bagaimana dengan kondisi saat ini, masihkah nilai-nilai kepahlawanan kaum muda dapat diandalkan dalam menopang kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara?

Sejarah mencatat, di belahan bumi manapun kaum muda merupakan pilar utama bagi negaranya. Jika kaum muda tidak lagi memiliki imaji kebangsaan yang kuat dan kokoh, maka sebuah negeri bisa terancam mengalami keruntuhan. Jujur harus diakui bahwa wajah negeri kita saat ini semakin diwarnai dengan runtuhnya solidaritas sosial, menguatnya kesenjangan sosial, melemahnya kepercayaan publik, ancaman krisis ekonomi, tingginya angka pengangguran, mengguritanya kasus korupsi dan berbagai potensi ancaman bencana sosial, yang jika tidak terkelola dengan maksimal akan dapat memperkuat krisis imaji kebangsaan.

Selalu muncul pertanyaan, apakah ada perbedaan antara hari ini dengan tahun 1908 lalu? Bedanya (barangkali), jika dulu bangsa kita di jajah asing secara terang-terangan, sekarang di jajah secara samar-samar, tapi dampaknya sangat terasa dan nyata. Banyak putera-puteri bangsa yang memiliki reputasi baik namun tidak diberi kesempatan untuk berkiprah di negeri sendiri. Banyak kaum muda yang cerdas dan pintar, namun tidak memiliki tempat untuk bekerja di negeri sendiri, karena terkalahkan oleh tenaga kerja asing yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Ini terjadi karena pemahaman akan nasionalisme dan bela negara serta cinta tanah air para penyelenggara negara sudah memudar, bahkan nyaris sirna.

Baca Juga :  PILIHAN NATAR AGUNG SEBAGAI NAMA DOB

Sejarah bangsa yang seharusnya dapat menjadi pedoman dalam meneruskan perjuangan para pendahulu telah ditinggalkan, sehingga nasib anak negeri pun terabaikan. Sungguh ironis dan menyedihkan. Seyogyanya semangat kebangkitan nasional ini secara terus menerus digelorakan dalam rangka memberikan pemahaman bagi bangsa ini untuk menauladani semangat dan patriotisme para pendahulunya.

Jujur harus diakui bahwa pasca bergulirnya reformasi, banyak agenda yang bertujuan untuk menanamkan kesadaran bagi masyarakat terhadap bela negara dan cinta tanah air semakin punah. Peringatan hari-hari besar Nasional dilaksanakan hanya sebatas seremoni, termasuk peringatan Harkitnas pada hari ini. Akibatnya, banyak para remaja usia sekolah di tingkat lanjutan atas maupun mahasiswa perguruan tinggi yang tidak mampu menjelaskan tentang sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sementara elemen kepemudaan lebih asyik bermain dengan ranah politik dan melupakan kewajiban yang mestinya dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan kaum generasi muda.

Untuk hal yang satu ini, rasanya tidak salah jika kita menghidupkan kembali program yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru, seperti pendidikan bela negara dan cinta Tanah Air bagi generasi muda, termasuk penataran pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila yang disingkat P4, serta kegiatan positif lainnya.

Tidak semua peninggalan Orde Baru haram untuk diteruskan, sepanjang hal tersebut bernilai positif bagi kebaikan dan keutuhan bangsa ini kedepan. Bila tidak, maka potret pemuda dari waktu ke waktu akan semakin buram dan tentu saja berdampak pada kualitas para calon pemimpin di masa datang. Benar bahwa pemuda merupakan ahli waris tongkat estafet kepemimpinan dari generasi pendahulu, tapi perlu di ingat bahwa para pemuda pun punya kewajiban untuk membuat warisan bagi generasi berikutnya. Jangan sampai pada saatnya nanti tidak mampu menjawab ketika ada yang bertanya tentang apa yang akan anda wariskan kepada generasi berikutnya. Karena pada kenyataannya hari ini para pemuda tidak berbuat apa-apa, kecuali untuk diri sendiri.

Baca Juga :  Efisiensi Anggaran, Kencangkan Ikat Pinggang. Oleh : Gunawan Handoko *)

Jangan sampai kaum muda lupa ke-Indonesiaan-nya, kehilangan rasa bela negara dan cinta negaranya, yang di masa lalu semua itu merupakan modal maha dahsyat dalam mewujudkan kebangkitan secara nasional. Selain krisis imaji kebangsaan, kita juga masih dihadapkan pada ironi yang menghawatirkan, yakni merosotnya integritas pendidikan Nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 yang menunjukkan skor 69,50. Sebuah penurunan yang signifikan dari angka 73,7 pada tahun 2023. Lebih jauh KPK memaparkan gambaran yang memprihatinkan, termasuk praktik gratifikasi yang menciderai integritas dunia pendidikan. Kondisi ini menyiratkan bahwa esensi luhur pendidikan secara perlahan telah terkikis dan tergerus oleh pragmatisme sesaat dan obsesi pada formalitas belaka. Maka, mari kobarkan kembali semangat juang Boedi Oetomo. Bersama kita pulih, bersama kita bangkit !!! (**)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini