Approval Rating dan Cermin Kepemimpinan. 𝘞𝘢𝘳𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘛𝘢𝘬 𝘉𝘪𝘴𝘢 𝘋𝘪𝘳𝘦𝘬𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢. Oleh : Herry Tjahyono *)

0

nataragung.id – JELAJAH NUSANTARA – Setiap pemimpin punya catatan tersendiri dalam sejarah, tapi tentu tidak semua meninggalkan rasa yang sama di hati rakyat. Salah satu barometer sederhana tapi jujur adalah approval rating di akhir masa jabatan–saat rakyat sudah cukup lama menilai, dan tak ada lagi janji yang bisa menyembunyikan kenyataan.

Mari Kita Lihat Cermin Ini:

𝗠𝗲𝗴𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶 𝗦𝗼𝗲𝗸𝗮𝗿𝗻𝗼𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶 (2001–2004)

Tidak ada angka survei resmi yang bisa dikutip di akhir masa jabatannya. Tapi pemilu langsung pertama tahun 2004 berkata jujur: Megawati kalah telak dari SBY, hanya mendapat 39% suara, tertinggal jauh dari penantangnya (Kompas, 2004). Itu semacam referendum diam-diam: rakyat ingin arah baru. Dan tanpa penelitian pun, anda bisa membayangkan sendiri approval rating-nya sebagai pemimpin yang kalah waktu itu.

Baca Juga :  Metode Yang di Pergunakan Oleh Ormas Islam dan Pemerintah Dalam Menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Oleh : H. SyahidanMh *)

𝗦𝘂𝘀𝗶𝗹𝗼 𝗕𝗮𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗬𝘂𝗱𝗵𝗼𝘆𝗼𝗻𝗼
(2004–2014)
SBY memulai era kekuasaannya dengan pujian dan legitimasi kuat, tapi menjelang akhir masa jabatan keduanya–popularitasnya merosot tajam. Survei Pol-Tracking (Desember 2013) mencatat hanya 40% yang puas, sementara 59,5% menyatakan tidak puas terhadap kinerjanya (Kompas.com, 19 Desember 2013).

Karisma yang dulu dirayakan, perlahan berubah jadi keraguan. SBY tetap dikenang sebagai politisi senior, tapi tak bisa mengelak dari penurunan simpati.

𝗝𝗼𝗸𝗼 𝗪𝗶𝗱𝗼𝗱𝗼 (2014–2024)
Jokowi mencatat hal yang belum pernah dicapai presiden Indonesia sebelumnya: approval rating 75–80% di akhir masa jabatannya.
LSI Denny JA (April 2024): 80,8%
Indikator Politik Indonesia (Oktober 2024): sekitar 75%
(Sumber: Kompas.com, 12 April 2024; Indikator, 26 Oktober 2024)

Meski diserang, dibelah, dan sering difitnah, Jokowi justru keluar dengan angka yang menguatkan: dia dipercayai sampai ujung.

Baca Juga :  Ksatria Hanya Tinggal Cerita Wayang. Oleh : Gunawan Handoko *)

𝗔𝗽𝗮 𝗘𝘀𝗲𝗻𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗕𝗮𝗻𝗴𝘀𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗦𝗲𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁𝗻𝘆𝗮?

Rakyat bisa lupa janji, tapi tak lupa rasa. Rasa dilayani. Rasa dianggap. Rasa ikut punya negara ini.

Approval rating bukan soal pencitraan, tapi pantulan dari relasi yang dibangun dengan rakyat–apakah sang pemimpin turun tangan atau hanya duduk di atas. Apakah ia hadir saat rakyat bingung, atau sekadar bicara saat semuanya aman.

Dan yang paling penting: apakah rakyat merasa ditinggal atau diajak berjalan bersama.

𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗦𝘂𝗱𝗶 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗶

Bagi mereka yang terus menolak, menuduh, bahkan membenci–angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini suara rakyat, bukan suara buzzer. Ini cermin yang tak bisa dibantah oleh narasi yang terbungkus segudang dengki sekali pun.

Kalau 80% rakyat masih percaya bahkan setelah sepuluh tahun diuji, maka barangkali yang perlu ditinjau ulang bukan Jokowi–tapi kebencian yang terlalu membutakan. Agenda busuk yang bahkan tak bisa lagi dibau oleh pemiliknya sendiri. Saking busuknya!
Sebab bila fakta sudah sedemikian jelas namun hati tetap menolak, maka mungkin bukan kebenaran yang sedang dicari–melainkan pembenaran dendam dan kebusukan.

Baca Juga :  Peran Adat dalam Menghadapi Krisis Lingkungan Kearifan Lokal Sebagai Solusi Global. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Kepemimpinan sejati bukan tentang disukai di awal, tapi dipercaya sampai akhir.
Karena sejarah hanya mencatat mereka yang bertahan di hati rakyat, bukan sekadar di kursi jabatan.

–𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗿𝘂𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗯𝘂𝗸𝗮, 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝘀𝘂𝗮𝗿𝗮 𝗵𝗲𝗻𝗶𝗻𝗴 𝗿𝗮𝗸𝘆𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗿𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗿 𝗽𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗷𝘂𝗷𝘂𝗿.

*) Penulis adalah Profesional (Former), CEO Perusahaan Swasta, Penulis Buku, Kolumnis KOMPAS.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini