nataragung.id- BANDAR LAMPUNG – Sejarah Keberadaan Penyimbang, Jejak Awal hingga Pasca kemerdekaan. Gelar Penyimbang dalam masyarakat adat Lampung adalah warisan budaya yang telah berakar sejak zaman prasejarah dan menjadi bagian dari dinamika sosial-politik selama berabad-abad.
Keberadaan gelar ini tercatat dalam tradisi lisan serta naskah-naskah kuno seperti Kuntara Raja Niti yang menyebutkan struktur pemerintahan adat yang bersifat hierarkis dan kolektif.
Jejak awal institusi Penyimbang ditemukan dalam konteks kerajaan lokal seperti Keratuan Pugung, Sekala Brak, dan berbagai kerajaan kecil di wilayah Lampung Barat dan Lampung Selatan.
Pada masa pra-Islam dan sebelum kedatangan kolonialisme, masyarakat Lampung telah memiliki struktur sosial yang mapan, di mana tokoh-tokoh adat memegang peranan penting dalam tata kelola masyarakat.
Gelar Penyimbang muncul sebagai simbol pemimpin adat yang memiliki otoritas spiritual, sosial, dan budaya. Ia adalah figur sentral dalam pengambilan keputusan adat, penyelesaian sengketa, serta penjaga nilai-nilai moral dan sakralitas leluhur.
Masuknya Islam pada abad ke-13 hingga ke-15 membawa perubahan penting dalam aspek religius, namun tidak menghilangkan struktur adat yang telah ada. Justru, nilai-nilai Islam dan adat berakulturasi secara harmonis, dengan para Penyimbang menjadi jembatan antara nilai Islam dan nilai adat. Mereka menjaga keberlanjutan nilai-nilai tradisional sembari mengakomodasi ajaran agama baru yang mulai mengakar.
Era kolonialisme Belanda memberikan tekanan besar terhadap sistem adat, termasuk institusi Penyimbang. Pemerintah kolonial berusaha menggantikan struktur lokal dengan sistem pemerintahan kolonial yang bersifat sentralistik.
Namun demikian, masyarakat Lampung mempertahankan struktur Penyimbang sebagai bentuk resistensi budaya.
Dalam banyak kasus, Penyimbang tetap berfungsi sebagai pemimpin informal yang dihormati masyarakat, meskipun tidak diakui secara administratif oleh pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan Indonesia, posisi Penyimbang mengalami dinamika baru. Dalam sistem pemerintahan nasional yang berbasis demokrasi dan hukum negara, posisi Penyimbang tidak dihapuskan, tetapi difungsikan dalam ranah sosial-budaya.
Di banyak daerah, Penyimbang tetap memiliki legitimasi moral yang tinggi, dan peranannya diakomodasi dalam lembaga-lembaga adat atau Dewan Adat. Institusi ini juga menjadi bagian penting dalam pelestarian budaya lokal, termasuk dalam mediasi sosial, upacara adat, dan pelestarian bahasa serta nilai-nilai kearifan lokal.
Struktur Masyarakat Adat Sai Batin dan Pepadun.
Masyarakat Lampung terbagi ke dalam dua sistem adat utama, yakni Sai Batin dan Pepadun. Keduanya memiliki struktur sosial yang berbeda, namun masing-masing menempatkan gelar Penyimbang dalam posisi sentral.
Sistem Sai Batin bersifat aristokratis dan tertutup. Struktur masyarakatnya ditentukan secara keturunan, dengan kekuasaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam struktur ini, masyarakat terbagi atas golongan bangsawan (tuan), penyimbang, dan rakyat biasa. Sai Batin mengutamakan garis keturunan murni sebagai dasar legitimasi sosial dan spiritual.
Berbeda dengan Sai Batin, sistem Pepadun bersifat egaliter dan terbuka. Struktur sosial dalam Pepadun ditentukan oleh kemampuan dan kontribusi seseorang terhadap masyarakat. Gelar dan posisi dapat diraih melalui proses adat yang dikenal sebagai naik Pepadun. Dalam masyarakat Pepadun, keterbukaan terhadap perubahan dan dinamika sosial sangat terlihat, serta memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dalam struktur adat.
Baik dalam Sai Batin maupun Pepadun, masyarakat terbagi ke dalam unit-unit sosial yang disebut marga, tiyuh (kampung), dan suku. Setiap unit ini memiliki pemimpin adat yang disebut Penyimbang, yang bertugas menjaga harmoni, menjalankan hukum adat, dan memfasilitasi pelaksanaan ritual serta musyawarah adat.
Posisi Penyimbang dalam Struktur Kekerabatan dan Pemerintahan Adat.
Dalam struktur kekerabatan masyarakat Lampung, Penyimbang adalah kepala dari satu kelompok kekerabatan atau marga. Ia memiliki otoritas atas anggota-anggota kelompoknya, baik dalam urusan sosial, ekonomi, hukum, maupun spiritual.
Penyimbang bertanggung jawab untuk membimbing generasi muda, menyelenggarakan upacara adat, serta menjaga warisan leluhur, termasuk silsilah dan tradisi lisan.
Dalam struktur pemerintahan adat, Penyimbang adalah figur sentral yang menjembatani antara masyarakat dan kekuasaan formal. Ia memainkan peran penting dalam forum musyawarah adat, yang dikenal dengan istilah “sangun” dalam Pepadun atau “kekakhian” dalam Sai Batin. Dalam forum ini, Penyimbang bersama tokoh adat lainnya membahas persoalan-persoalan penting seperti pernikahan, warisan, konflik sosial, hingga pembangunan komunitas.
Penyimbang juga merupakan penghubung antara manusia dan alam semesta dalam perspektif spiritualitas Lampung. Dalam setiap upacara adat, Penyimbang memimpin doa, sesaji, dan ritual persembahan kepada leluhur sebagai bentuk penghormatan dan permohonan berkah. Fungsi spiritual ini menjadikan posisi Penyimbang sebagai pelindung nilai-nilai sakral yang menjadi dasar kehidupan masyarakat.
Secara administratif, Penyimbang sering kali berperan sebagai penasihat dalam lembaga adat atau tokoh masyarakat dalam struktur pemerintahan desa atau kelurahan. Meskipun tidak memiliki kekuasaan eksekutif, suara dan nasihatnya sangat diperhitungkan dalam pengambilan keputusan komunitas.
Perbandingan Struktur Sosial dan Nilai Dasar dari Kedua Sistem.
Perbedaan antara sistem Sai Batin dan Pepadun mencerminkan dua paradigma yang berbeda dalam menyikapi kekuasaan, status sosial, dan nilai-nilai dasar kehidupan bermasyarakat.
Dalam Sai Batin, nilai dasar yang dijunjung tinggi adalah kesucian garis keturunan, loyalitas kepada tradisi, dan eksklusivitas budaya. Sistem ini menempatkan nilai spiritual di atas nilai administratif, dan menekankan pada kesinambungan tradisi yang diwariskan dari leluhur.
Penyimbang dalam Sai Batin memiliki peran sebagai pelindung garis keturunan dan penjaga integritas budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Sementara itu, sistem Pepadun menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, musyawarah, dan keterbukaan. Di sini, status sosial bisa diraih berdasarkan kemampuan individu, bukan semata-mata dari garis keturunan.
Nilai-nilai seperti gotong-royong, persatuan dalam keberagaman, dan tanggung jawab sosial menjadi fondasi utama masyarakat Pepadun. Penyimbang dalam sistem ini adalah tokoh yang aktif berinteraksi dengan masyarakat, berperan dalam pembangunan komunitas, serta menjadi simbol kesetaraan dan keadilan.
Walau demikian, kedua sistem tetap menjunjung tinggi empat nilai utama budaya Lampung, yaitu: pi’il-pusanggiri (harga diri), nemui-nyimah (keramahtamahan), nengah-nyappur (berbaur dalam masyarakat), dan sakai-sambaian (tolong menolong).
Nilai-nilai ini menjadi landasan moral dan spiritual dari seluruh sistem adat yang berlaku, serta menjadi kompas etis bagi para Penyimbang dalam menjalankan tugasnya.
Kerangka Sosiologis dan Historis Institusi Penyimbang.
Institusi Penyimbang dalam masyarakat Lampung merupakan entitas sosial yang tidak hanya memiliki dimensi historis, tetapi juga nilai-nilai sosiologis dan spiritual yang mendalam.
Ia adalah refleksi dari bagaimana masyarakat Lampung membangun struktur sosial yang kompleks, adaptif, dan berbasis pada kearifan lokal. Baik dalam sistem Sai Batin yang aristokratis maupun dalam sistem Pepadun yang demokratis, posisi Penyimbang selalu berada di jantung kehidupan adat.
Sejarah panjang institusi ini, dari era kerajaan lokal, masa kolonialisme, hingga pascakemerdekaan, menunjukkan ketangguhan masyarakat adat dalam mempertahankan identitas budayanya. Di tengah perubahan zaman dan modernisasi, Penyimbang tetap menjadi pilar penyangga masyarakat adat, simbol kesinambungan budaya, serta jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Melalui pemahaman yang mendalam terhadap struktur sosial dan peran Penyimbang, kita dapat melihat betapa kayanya warisan budaya Lampung yang bukan hanya menjadi milik etnis tertentu, tetapi juga aset kebudayaan nasional yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. ***
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.