nataragung.id – Bandar Lampung – Di sebuah sudut kota Bandar Lampung yang ramai, Aming, seorang mahasiswa, menggesekkan jemarinya di layar ponsel. Ia baru saja membaca broadcast message tentang Pak Senong, tetua adat di kampung halamannya, yang sedang sakit keras dan membutuhkan biaya pengobatan. Tanpa pikir panjang, Aming membuka grup Facebook “Anak Lampung Nyeribu” yang beranggotakan ribuan orang.
Dia mengetik dengan cepat, menyampaikan kabar duka itu, dan melampirkan nomor rekening keluarga Pak Senong. Apa yang terjadi kemudian membuatnya terharu. Dalam hitungan jam, notifikasi transfer masuk berdering tak henti. Ucapan doa dan semangat membanjiri kolom komentar. Ada yang menyumbang dari hasil jualan online, dari gaji pertama, bahkan dari seorang nenek yang mengirimkan pesan, “Ini dari hasil jual kue lapis, tolong disampaikan untuk Pak Senong yang dulu selalu bimbing kami belas (buka ladang).”
Dua hari kemudian, dana terkumpul lebih dari cukup. Aming dan beberapa pemuda lainnya mengkoordinir penyaluran dana dan menjenguk Pak Senong. Melihat solidaritas ini, sang tetua adat tersenyum lemah dan berbisik, “Inilah Sakai Sambayan zaman now. Dulu kami keroyok bangun rumah dengan pacul dan parang. Sekarang, kalian keroyok tolong orang dengan HP dan transfer bank. Alatnya berubah, tapi jiwa kita tetap sama.” Aming pun tersadar bahwa nilai luhur itu tidak pernah mati; ia hanya bertransformasi, menemukan medium baru untuk terus bernafas dalam denyut nadi generasi muda.
Dalam struktur masyarakat adat Lampung, Penyimbang (pemangku adat) bukan hanya pemimpin secara protokoler, melainkan pengayom dan living example dari nilai-nilai adat, termasuk Sakai Sambayan. Mereka adalah penjaga gawang yang memastikan filosofi ini tidak tergerus oleh individualisme modern.
Peran mereka bersifat multidimensi. Pertama, sebagai panutan (role model). Seorang penyimbang harus yang terdepan dalam memberi sumbangan dan tenaga ketika ada warga yang membutuhkan. Ketika ia menjadi teladan, perintahnya akan didengar dan nasihatnya didengar. Kedua, sebagai wasit yang arif. Dalam pelaksanaan Sakai Sambayan, bisa saja muncul konflik, seperti ada warga yang dianggap jarang ikut serta. Penyimbang lah yang akan menengahi dengan bijak, bukan dengan menghakimi, tetapi dengan mengingatkan pada nilai-nilai luhur bersama.
Petuah adat Lampung mengatakan: “Punyimbang tiyan jama, mak monjughukhan, mak mekighukhan.” Artinya, “Penyimbang itu dengan masyarakat, saling mengingatkan, saling menasehati.”
Analisis dari kutipan ini sangat dalam. Hubungan antara penyimbang dan masyarakat adalah hubungan timbal balik yang setara (jama – bersama). Tugas penyimbang bukan memerintah, tetapi mekighukhan (mengingatkan) dan monjughukhan (menasihati) berdasarkan nilai adat.
Dalam konteks Sakai Sambayan, perannya adalah terus-menerus mengingatkan komunitas akan kewajiban mereka untuk saling menopang, sekaligus menasihati individu yang mulai melupakan kewajiban itu. Dengan demikian, ia adalah penggerak utama yang menjaga ritme dan semangat kebersamaan itu tetap hidup.
Arus modernisasi dan migrasi besar-besaran orang Lampung ke kota-kota besar bukanlah akhir dari Sakai Sambayan. Justru, jiwa ini menemukan bentuk barunya yang revolusioner melalui media digital. Sakai Sambayan telah melakukan transformasi fisik ke virtual, mengatasi batas geografis.
Bentuknya beragam. Mulai dari grup-grup media sosial (WhatsApp, Facebook, Instagram) berdasarkan marga atau daerah asal (pekhan) yang menjadi wadah menggalang dana untuk biaya pengobatan, pendidikan, atau bencana alam. Ada juga platform crowdfunding independen yang dikelola oleh komunitas muda Lampung. Bahkan, kegiatan tandur (menanam) atau belas (membuka ladang) kini bisa diorganisir melalui event di Facebook, mengumpulkan relawan dari berbagai daerah.
Ini adalah evolusi logis dari sebuah prinsip yang luwes. Filosofi dasarnya tetap sama: “Sai satu dihujau, sai semua ditindih” (Saat satu tertimpa musibah, semua yang lain merasakan dan menanggungnya).
Dahulu, “merasakan” berarti mendengar kabar dari mulut ke mulut di satu kampung. Kini, “merasakan” berarti membaca postingan di media sosial dari ribuan kilometer jauhnya. Dahulu, “menanggung” berarti datang dengan pacul atau beras. Kini, “menanggung” bisa berarti transfer digital atau menjadi relawan virtual yang menyebarkan informasi.
Analisisnya, teknologi digital tidak melemahkan Sakai Sambayan, justru memperkuat jangkauan dan mempercepat responsnya. Ia menjadi lebih inklusif, melibatkan para perantau yang rindu berkontribusi untuk kampung halamannya. Nilai sambayan (beban bersama) kini tidak lagi terbatas pada satu kampung fisik, tetapi telah menjadi beban bersama satu komunitas budaya yang tersebar di seluruh dunia.
Agar Sakai Sambayan tidak menjadi sekadar romantisme masa lalu, ia harus diintegrasikan secara sistematis ke dalam pendidikan generasi penerus. Ini bukan tentang mengajarkan teori, tetapi tentang menciptakan pengalaman yang memaknainya.
Pertama, Integrasi dalam Pendidikan Formal. Muatan lokal (Mulok) di sekolah-sekolah Lampung harus bergerak beyond hanya menari dan menyulam. Siswa bisa diajak terjun langsung ke proyek Sakai Sambayan modern, seperti mengelola bank sampah bersama, merawat taman kota, atau mengadopsi sebuah keluarga kurang mampu. Guru tidak hanya memberi nilai pada hasil, tetapi pada proses gotong royong dan kepedulian mereka.
Kedua, Pendidikan Informal dalam Keluarga. Orang tua dapat menciptakan “simulasi” Sakai Sambayan. Misalnya, ketika seorang anak ingin sepeda baru, sang ayah bisa mengajaknya “keroyok” dengan menyisihkan uang jajan bersama-sama, sehingga si anak belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu perlu ada usaha dan pengorbanan kolektif. Atau, libatkan anak dalam prosesi adat, dan jelaskan makna di balik setiap bantuan yang diberikan keluarga besar.
Ketiga, Memanfaatkan Konten Kreatif Digital. Generasi Z dan Alpha adalah generasi visual. Nilai Sakai Sambayan dapat dikemas melalui komik web, video pendek TikTok/Reels yang menunjukkan aksi tolong-menolong, atau game mobile sederhana yang misinya adalah menyelesaikan masalah secara berkelompok.
Petuah adat yang relevan adalah: “Anak jama lawang, mak lettegh mak lakhou.” Artinya, “Anak dengan masa depan, jangan dilepas jangan dibiarkan.”
Analisisnya, petuah ini adalah seruan untuk melakukan intervensi aktif dalam mendidik generasi penerus. “Jangan dilepas” berarti nilai-nilai ini harus dengan sengaja (intentionally) ditanamkan. “Jangan dibiarkan” berarti kita tidak boleh pasif dan membiarkan mereka tumbuh tanpa pemahaman tentang jati diri budayanya. Integrasi Sakai Sambayan dalam pendidikan adalah bentuk dari tidak melepas dan tidak membiarkan tersebut. Tujuannya adalah menciptakan manusia Lampung modern yang tetap memiliki ghiyou (rasa malu jika melanggar adat) dan rimou (rasa hati dan empati) yang menjadi jiwa dari Sakai Sambayan. Dengan demikian, api tradisi ini akan terus terjaga, menerangi langkah masyarakat Lampung menuju masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
Sumber Referensi (Terverifikasi):
1. Buku: Pemangku Adat dan Dinamika Masyarakat Lampung Modern oleh Dr. Hi. Mustafa, M.Hum. (Penerbit: Universitas Lampung Press, 2020). Buku ini mengkaji secara mendalam peran dan strategi penyimbang dalam mempertahankan nilai adat di tengah perubahan zaman.
2. Jurnal Ilmiah: “Transformasi Nilai Sakai Sambayan dalam Komunikasi Bermedia Digital pada Masyarakat Lampung” dalam Jurnal Komunikasi Global, Vol. 9, No. 2 (2020). Jurnal ini memberikan analisis data tentang pergeseran bentuk gotong royong ke platform digital.
3. Prosiding Seminar: “Integrasi Nilai Kearifan Lokal Sakai Sambayana dalam Kurikulum Pendidikan untuk Penguatan Karakter Siswa” (Seminar Nasional Pendidikan IPS, 2021). Prosiding ini menawarkan model dan strategi konkret untuk memasukkan nilai ini ke dalam kurikulum pendidikan.
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.