nataragung.id – NATAR – Suatu ketika para sahabat dari kaum muhajirin datang kepada Rasul SAW mengadukan kegalauannya. Mereka galau bukan karena mereka tidak punya makanan, tidak punya rumah atau pakaian.
Mereka galau karena dengan kondisi mereka yang miskin mereka tidak bisa berbuat banyak dalam kebaikan sehingga tidak mampu bersaing dengan saudara mereka yang kaya.
Mereka berkata : “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal!”.
Maka beliau bertanya, “Apa itu?”.
Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu melakukan sholat sebagaimana kami melakukan sholat. Mereka melakukan puasa sebagaimana kami melakukan puasa. Mereka bershodaqah, tetapi kami tidak bershodaqah. Mereka memerdekakan budak, tetapi kami tidak memerdekakan budak”.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku ajarkan sesuatu kepada kamu, dengannya kamu akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kamu, dan dengannya kamu akan mendahului orang-orang setelah kamu, dan tidak ada seorangpun yang lebih baik dari kamu kecuali orang-orang yang melakukan seperti apa yang kamu lakukan?”.
Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasuullah”.
Beliau bersabda, “Kamu bertasbih, bertakbir, dan bertahmid tiga puluh tiga kali setelah setiap shalat”.
Abu Shalih (seorang perawi hadits) berkata, “Kemudian orang-orang fakir Muhajirin kembali mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Saudara-saudara kami, orang-orang kaya, telah mendengar apa yang telah kami lakukan, lalu mereka melakukan seperti itu!”.
Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah karunia Allâh yang Dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki”. [HR. Muslim, no. 595]
Hadits ini menjelaskan betapa semangat para sahabat untuk berbuat kebaikan. Mereka iri bila tidak dapat mengerjakan kebaikan, sementara yang lain mampu mengerjakannya.
Hadits ini juga menjelaskan pentingnya kekayaan. Bahwa banyak peluang-peluang pahala yang bisa didapatkan hanya bila kita memiliki kekayaan.
Sebab itu menjadi kaya itu tuntutan. Tuntutan kebutuhan hidup dan tuntutan syariat. Karena itu mencarinya adalah kewajiban.
Jika kita miskin, kita tak akan pernah menjadi muzakki alias selamanya kita menjadi mustahiq.
Jika kita miskin, kapan kita bisa menyekolahkan anak di tempat yang bonafid, membangun masjid, membuatkan sumur bor dan amal jariyah lainnya.
Jika kita miskin selamanya kita tak berani membusungkan dada. Kita hanya bisa menunduk di depan keangkuhan dunia.
Tentu kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan yang mendekatkan kita ke surga dan menjauhkan kita dari neraka.
Kekayaan yang membuat kita tidak lalai dari mengingat Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” [Qs 63:9]
*) Penulis adalah Anggota Majelis Syura DDII Propinsi Lampung, tinggal di Pemanggilan, Natar.