nataragung.id, ARTIKEL – Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki tradisi unik yang dikenal sebagai “punggahan”. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai persiapan spiritual, tetapi juga memperkuat kesalehan sosial dalam komunitas.
“Punggahan” berasal dari bahasa Jawa “munggah” yang berarti “naik”. Dalam konteks ini, punggahan dimaknai sebagai upaya “menaikkan” atau “menyambut” datangnya bulan Ramadan dengan penuh rasa syukur dan persiapan yang matang. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian integral dari budaya masyarakat Jawa.
Tradisi punggahan pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, saat menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Beliau menggunakan metode akulturasi budaya untuk mempermudah penerimaan Islam oleh masyarakat setempat. Punggahan biasanya dilaksanakan pada akhir bulan Sya’ban, beberapa hari sebelum memasuki Ramadan. Kegiatan ini melibatkan berbagai aktivitas, seperti:
1. Makan Bersama: Keluarga besar, kerabat, dan tetangga berkumpul untuk menikmati hidangan bersama. Momen ini digunakan untuk mempererat tali silaturahmi dan saling memaafkan sebelum memasuki bulan puasa.
2. Doa dan Zikir Bersama: Acara punggahan diisi dengan doa dan zikir bersama, memohon kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan dan kesehatan dalam menjalankan ibadah puasa.
3. Ziarah Kubur: Beberapa masyarakat juga melakukan ziarah ke makam keluarga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan mengingatkan diri akan kehidupan yang fana.
Pelaksanaan punggahan pada akhir bulan Sya’ban memiliki keterkaitan erat dengan ajaran Rasulullah SAW mengenai diangkatnya amal perbuatan manusia pada bulan tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid, beliau bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa beliau sering berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah SAW menjawab:
“Itu adalah bulan yang sering dilupakan oleh manusia, antara Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Tuhan semesta alam. Maka aku suka ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. An-Nasa’i)
Hadis ini menunjukkan bahwa bulan Sya’ban memiliki keistimewaan sebagai waktu di mana amal perbuatan manusia diangkat dan dilaporkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tradisi punggahan yang dilakukan pada akhir bulan Sya’ban menjadi momentum bagi umat Muslim untuk meningkatkan amal ibadah dan mempersiapkan diri secara spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan.
Kesalehan sosial dalam Islam merujuk pada perilaku yang peduli terhadap nilai-nilai islami yang bersifat sosial, seperti tolong-menolong, saling menghargai, dan berempati terhadap sesama. Tradisi punggahan mencerminkan kesalehan sosial ini melalui berbagai aspek:
– Mempererat Silaturahmi: Dengan berkumpul dan berinteraksi dalam suasana kekeluargaan, punggahan memperkuat hubungan antarindividu dalam komunitas.
– Berbagi Rezeki: Momen makan bersama menjadi ajang untuk berbagi hidangan, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
– Doa Bersama: Kegiatan doa dan zikir bersama mencerminkan kebersamaan dalam memohon keberkahan dan keselamatan, memperkuat ikatan spiritual antaranggota masyarakat.
Dalam perspektif Islam, kesalehan tidak hanya diwujudkan melalui ibadah individual seperti salat dan puasa, tetapi juga melalui interaksi sosial yang harmonis dan saling membantu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Di era modern, tradisi punggahan tetap relevan sebagai sarana memperkuat kesalehan sosial. Dalam masyarakat yang semakin individualistis, punggahan mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian terhadap sesama. Selain itu, tradisi ini juga menjadi media edukasi bagi generasi muda tentang nilai-nilai luhur budaya dan agama.
Punggahan bukan sekadar tradisi menyambut Ramadan, tetapi juga manifestasi dari kesalehan sosial yang mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Melalui punggahan, nilai-nilai seperti kebersamaan, kepedulian, dan rasa syukur diwujudkan dalam tindakan nyata. Semoga tradisi ini terus lestari dan menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan semangat kebersamaan.
Penulis : wahyuagungpp, penikmat takir punggahan, tinggal di Natar, Lampung Selatan.