nataragung.id – BANDAR LAMPUNG -Dalam cerita wayang, para ksatria Pandawa dengan hati ikhlas harus menjalani hukuman dengan hidup di tengah hutan belantara setelah mereka kalah dalam bermain judi dadu koprok melawan para Astina. Meski para Pandawa tahu persis bahwa kekalahannya akibat dicurangi oleh Sengkuni, patih negara Astina yang berperan sebagai pengocok dadu, namun kecurangan tersebut diterima dengan sikap ksatria sesuai dengan perjanjian yang dideklarasikan sebelum bertanding.
Kepergian Pandawa memasuki hutan belantara diiringi dengan sorak sorai para Kurawa karena mereka yakin bahwa 5 ksatria Pandawa akan habis dimangsa binatang buas yang ada di hutan angker tersebut. Dalam kisah lain, di penghujung perang Baratayuda seluruh pasukan Astina gugur. Yang tersisa hanya sepasang suami isteri tua renta, yakni Prabu Destarata dan Dewi Gendari yang tidak lain merupakan orang tua kandung para Kurawa. Prabu Destarata yang tuna netra ini harus meninggalkan kerajaan Astina karena dirinya tahu bahwa kerajaan yang ditempati selama ini merupakan hak milik Pandawa. Meski seluruh kstaria Pandawa telah menahan agar tetap tinggal bersama dengan mereka dan berperan sebagai sesepuh, namun Prabu Destarata tetap bersikukuh untuk pergi demi memenuhi panggilan jiwa ksatrianya.
Diiringi tangis pilu para Pandawa dan hanya berbekal sesisir pisang, sang Prabu dan isterinya berjalan tertatih-tatih memasuki hutan belantara dan akhirnya harus gugur ditengah kobaran api yang membakar hutan tersebut. Masih banyak lagi kisah para ksatria yang ada dalam cerita pewayangan yang bukan sekedar menjadi tontonan, namun juga sebagai tuntunan bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Dalam kehidupan masyarakat Jawa sikap ksatria sering diidentikkan dengan sikap priyayi atau para yayi, yakni orang yang memiliki sikap rendah hati dan rendah diri atau andap asor.
Dalam berkompetisi, sikap yang mesti dipegang teguh oleh para ksatria adalah ’perang tanpo tanding, nglurug tanpo bolo dan menang tanpo ngasorake’ yang artinya perang tanpa bertanding, menyerang tanpa pasukan dan menang tanpa harus mengalahkan. Ksatria atau priyayi adalah orang yang dianggap pantas menjadi panutan dan memberi suri tauladan yang baik bagi masyarakat. Dia bisa seorang kepala desa, guru, ulama, tokoh masyarakat atau siapa saja yang memiliki sifat bijak, santun dan rendah diri. Dan yang paling penting, seorang ksatria juga jauh dari sifat sombong, tamak ataupun serakah dalam mengemban amanah rakyat. Sifat ini yang paling mahal di zaman sekarang.
Sejak dulu bangsa Indonesia terlanjur mendapat julukan sebagai bangsa Timur karena perilaku masyarakatnya yang dikenal sabar, ramah dan santun. Itulah sesungguhnya jati diri yang telah terpatri dan dimiliki rakyat kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam cerita wayang, karakter bangsa kita sering digambarkan dalam tokoh keluarga ksatria dan di jajar pada barisan kanan ki dalang. Sebaliknya, pada barisan kiri merupakan kelompok para penjahat yang serakah dan tamak serta selalu ingin merebut kekuasaan pihak lain.
Bagi para calon pemimpin di masa lalu, sifat ksatria tersebut selalu dipegang teguh dan menjadi modal dasar untuk menarik simpati masyarakat, bahkan bisa mengalahkan segalanya, termasuk faktor kecerdasan yang seharusnya dimiliki setiap calon pemimpin. Banyak orang yang memiliki otak cerdas dan cemerlang, banyak juga orang yang istimewa. Namun, manusia hanya akan kagum manakala orang tersebut memiliki sikap, komitmennya jelas, suara moralnya tegas dan pemihakan hidupnya terhadap nilai-nilai tidak diragukan.
Masihkah sikap ksatria itu bersemayam di dada para calon pemimpin kita dalam berlaga untuk merebut tahta kekuasaan? Mari sejenak kita menengok kebelakang, sejak mamasuki era reformasi. Ketika reformasi bergerak, rakyat menyambut dengan hingar bingar. Jika selama masa Orde Baru suaranya tidak pernah dihargai, kini menjadi berharga. Tapi karena belum siap atau belum terbiasa, akhirnya merasa kagok. Para blantik politik dan politisi melihat peluang dan memberi penawaran. Rakyat yang belum sadar akan hak politiknya lalu menjualnya dengan harga murah, bahan di obral suka-suka.
Cara yang tidak bermartabat inilah yang akhirnya melahirkan sikap pragmatisme bagi para pemilih. Politik uang sudah merasuk dan mendarah daging di tengah masyarakat kita. Sebaik dan sehebat apapun rekam jejak dan latar belakang seorang calon, jika tidak mau menjalankan politik transaksional, dipastikan akan kalah. Maka sesungguhnya para calon pemimpin dan politisi memiliki andil besar di dalam merusak tatanan politik dan demokrasi sejak bergulirnya era reformasi. Demi untuk meraih kemenangan, cara apapun mereka lakukan. Lebih baik menang walau bermasalah, daripada harus menanggung malu akibat kalah.
Apa yang kita saksikan sungguh jauh dari sifat-sifat ksatria. Contoh lain, terjadinya peristiwa politik pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2024. Dari 545 daerah Pilkada, terdapat 310 daerah atau hampir 60% yang dipermasalahkan oleh pihak calon yang kalah dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari masalah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dugaan ijazah palsu, masa jabatan, dan lainnya. Hampir semua materi gugatan terkait dengan masalah administrasi yang merupakan tugas awal KPU dan Bawaslu untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian saat pendaftaran bakal calon. Artinya, masalah administrasi tersebut tidak harus sampai ke MK jika KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara memiliki tanggungjawab dan benar-benar menjalankan kewajibannya. Ketika KPU menetapkan bakal calon menjadi Calon Tetap, berarti semua persyaratan administrasi sudah tidak ada masalah lagi. Maka wajar apabila banyak pihak yang meragukan bobot dan kualitas komisioner KPU, karena hanya untuk menyelesaikan administrasi saja tidak mampu, apalagi masalah substantif.
Akibat dari hasil kerja KPU yang buruk ini menjadi celah bagi pihak-pihak yang tidak bisa menerima atas kemenangan pihak lawan. Terlepas apa yang telah terjadi dan akan terjadi nanti, yang pasti sejarah akan mencatat bahwa upaya menegakkan kultur agar yang menang siap rendah hati dan yang kalah mau dan berani menerima kekalahan secara ksatria dan sabar, merupakan kultur yang yang masih perlu di bangun dalam masyarakat kita.
Deklarasi pemilu damai yang di gelar KPU dengan biaya mahal dan ditonton jutaan rakyat tidak ubahnya seperti sinetron yang penuh kepalsuan. Kita tentu tidak ingin sikap ksatria hanya ada dalam cerita wayang. Memang, bukan hal yang mudah untuk menjalankan tata kelola atas kemenangan, apalagi kekalahan. Lebih-lebih jika harus menjadi pemenang sejati yang tidak lupa diri, atau menjadi petarung yang bisa bersikap ikhlas dan lapang dada saat menerima kekalahan. Maka seharusnya jika sudah berani masuk ke dalam gelanggang pertarungan, seseorang haruslah siap menang, juga mesti siap kalah. Menerima dengan ikhlas terhadap kekalahan adalah kemenangan tersendiri, yang bukan tidak mungkin akan menjadi investasi untuk menggapai yang lebih besar dan bahkan agung di lain kesempatan. Disinilah optimisme mesti diletakkan dengan lambaran sikap ksatria, dimana kekalahan bukanlah akhir segalanya.
*) Aktifis LSM PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Provinsi Lampung, tinggal di Bandar Lampung