nataragung.id – JAKARTA – 𝗗𝗮𝗵𝗹𝗮𝗻 𝗜𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗸 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝗱𝗮𝗵𝗶 𝗽𝗼𝗹𝗲𝗺𝗶𝗸 𝗶𝗷𝗮𝘇𝗮𝗵 𝗣𝗿𝗲𝘀𝗶𝗱𝗲𝗻 𝗸𝗲𝘁𝘂𝗷𝘂𝗵 𝗥𝗜, 𝗝𝗼𝗸𝗼𝘄𝗶 (𝗖𝗮𝘁𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗵𝗹𝗮𝗻 𝗜𝘀𝗸𝗮𝗻, 𝟮𝟵 𝗠𝗲𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟱, 𝗞𝗲𝗮𝗺𝗮𝗻𝗮𝗻 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮).
Dalam tulisan reflektifnya, ia menyarankan agar kasus ini tidak dibawa ke pengadilan, tidak usah ada vonis, dan biarkan waktu yang menyelesaikan. Ia memberi contoh Bung Karno dan Soeharto yang tidak pernah diseret ke pengadilan, tapi akhirnya dipulihkan nama baiknya bertahun-tahun kemudian, oleh generasi berikutnya.
𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮?
Karena presiden adalah simbol negara. Karena “keamanan negara” lebih penting dari pertanyaan publik. Karena sejarah kita selalu mengandalkan tradisi: mikul dhuwur mendem jero.
𝗡𝗮𝗺𝘂𝗻 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗱𝗶 𝘀𝗶𝘁𝘂𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗼𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘀𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮:
Tradisi “mikul dhuwur mendem jero” yang dijadikan standar moral-politik itu telah menciptakan lingkaran setan sejarah. Luka-luka kolektif dibiarkan menganga. Kebenaran dikaburkan demi stabilitas semu. Dan generasi-generasi berikutnya yang harus menanggung beban sejarah yang tidak mereka buat, tapi harus mereka maklumi.
𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮 𝗹𝘂𝗸𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗱𝗶𝘄𝗮𝗿𝗶𝘀𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗺𝗯𝘂𝗵𝗸𝗮𝗻?
Dalam kasus tuduhan ijazah palsu ini, tentu saja kehormatan negara penting– tapi martabat manusia yang konkretnya—dalam hal ini: Jokowi dan keluarganya–bukan “sesuatu” yang bisa dilukai begitu saja, lalu diwariskan.
𝗝𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗸𝗮𝘀𝘂𝘀 𝗶𝗻𝗶 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝘁 𝗺𝗮𝗿𝘁𝗮𝗯𝗮𝘁 𝗽𝗿𝗶𝗯𝗮𝗱𝗶, 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗷𝘂𝗷𝘂𝗿, 𝗰𝗲𝗽𝗮𝘁, 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗶𝗹.
Jika benar, maka pengadilan akan menjadi panggung pemulihan. Jika tidak, maka juga harus dibuka tanpa rekayasa. Dalam dua skenario itu, hukum menjadi alat penjernih. Bukan alat kekuasaan.
Kita tidak perlu menunggu puluhan tahun hanya untuk berkata, “Dulu kita keliru.”
Publik tidak perlu menjadi arkeolog sejarah, mencari-cari serpihan kebenaran dari dokumen yang dikubur dan narasi yang dimanipulasi.
𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗸𝗮𝘀𝘂𝘀 𝗶𝗻𝗶 𝗱𝗶𝘁𝘂𝘁𝘂𝗽 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗰𝘂𝗸𝘂𝗽 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗯𝗮𝗻 𝗯𝗮𝘁𝗶𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗴 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗽𝗲𝗿𝘀𝗼𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻.
Sangat mudah berkata: biarlah waktu yang menyelesaikan. Tapi apakah waktu menyembuhkan, atau hanya membuat kita lupa?
𝗕𝗮𝗴𝗶 𝘀𝗲𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝘂𝗱𝘂𝗵 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗹𝘀𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗶𝗱𝗲𝗻𝘁𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗮𝗸𝗮𝗱𝗲𝗺𝗶𝗸, 𝗶𝗻𝗶 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝘀𝗲𝗺𝗮𝘁𝗮. 𝗜𝗻𝗶 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗻𝗮𝗺𝗮 𝗯𝗮𝗶𝗸, 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗮𝗻𝗮𝗸-𝗮𝗻𝗮𝗸𝗻𝘆𝗮, 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗶𝗮 𝗶𝗻𝗴𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗸𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗺𝗮𝗻𝘂𝘀𝗶𝗮.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari luka yang tak boleh dijelaskan, apalagi dibela.
𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝘀𝗲𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗵𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗴𝗮 𝘀𝗶𝗺𝗯𝗼𝗹, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗱𝘂𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗿𝗮𝗸𝘆𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮.
Dan pendidikan publik terbesar adalah: memberi contoh bahwa semua warga negara—termasuk presiden—berdiri sama di hadapan hukum.
Jika kita terus melanggengkan prinsip “mikul dhuwur mendem jero” dalam konteks masalah-masalah seperti ini–kita tidak sedang menyelamatkan negara. Kita hanya sedang menunda kebenaran, dengan biaya sosial yang mahal.
𝗝𝗮𝗱𝗶, 𝗯𝗶𝗮𝗿𝗹𝗮𝗵 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗯𝗶𝗰𝗮𝗿𝗮.
Jangan wariskan luka yang harus dipulihkan oleh anak cucu kita.
Pemulihan terbaik adalah kejujuran yang dimulai sekarang, bukan romantisme yang dipalsukan oleh waktu. Karena martabat adalah inti kemanusiaan. Dan keadilan adalah jalan untuk mencapainya.
(𝘛𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘳𝘦𝘧𝘭𝘦𝘬𝘴𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘸𝘢𝘤𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨, 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪. 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘳𝘶 𝘪𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘱𝘪𝘩𝘢𝘬—𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘑𝘰𝘬𝘰𝘸𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪—𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘨𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘳𝘵𝘢𝘣𝘢𝘵).
*) Penulis adalah Profesional (Former), CEO Perusahaan Swasta, Penulis Buku, Kolumnis KOMPAS.
* Keterangan foto: Catatan Dahlan Iskan