nataragung.id – JAKARTA – Dalam sistem demokrasi Indonesia pascareformasi, rakyat diberi hak untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Tapi bukan dua suara untuk dua orang. 𝗠𝗲𝗹𝗮𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘀𝘂𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗽𝗮𝘀𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻. 𝗦𝗮𝘁𝘂 𝘁𝗶𝗸𝗲𝘁. 𝗦𝗮𝘁𝘂 𝗸𝗲𝗵𝗲𝗻𝗱𝗮𝗸 𝗿𝗮𝗸𝘆𝗮𝘁.
Konstitusi telah menegaskannya:
“𝘗𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘭𝘰𝘯 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘬𝘪𝘭 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯 𝘥𝘪𝘶𝘴𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘱𝘢𝘳𝘵𝘢𝘪 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘨𝘢𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘵𝘢𝘪 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬…”
(UUD 1945 Pasal 6A ayat 2)
“…𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘶𝘮𝘶𝘮 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘳𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵.”
(Pasal 6A ayat 1)
Inilah yang dimaksud sistem “satu paket”. Bukan sekadar teknis pencoblosan, tetapi mandat politik yang melekat utuh kepada keduanya. Maka ketika hasil pemilu ditetapkan, tak ada yang bisa berdiri sendiri. Presiden tak bisa mengabaikan wakilnya, dan wakil tak bisa dianggap bukan pilihan rakyat.
Jika salah satunya bermasalah, mekanismenya bukan memisahkan. Tapi menguji: apakah pelanggarannya cukup untuk pemakzulan?
(lihat UUD 1945 Pasal 7A dan 7B: tentang pelanggaran hukum berat dan pengkhianatan terhadap negara).
Tanpa itu semua, tak ada dasar hukum untuk memberhentikan atau memakzulkan salah satunya secara sepihak.
Maka sungguh ironis jika di tengah sistem presidensial yang stabil, kita justru mengoprek moralitas konstitusi demi agenda kekuasaan jangka pendek. Sebab sekali preseden ini dibiarkan, maka yang kita runtuhkan bukan cuma norma, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap institusi.
Satu paket, 𝘴𝘰𝘶𝘭𝘮𝘢𝘵𝘦. Sebagai “belahan jiwa”: tak boleh ada yang memisahkan, kecuali ada yang jahat atau berkhianat.
Satu paket bukan sekadar prosedur. Ia adalah tanggung jawab bersama kepada sejarah, kepada bangsa, dan kepada suara rakyat yang telah diberikan secara sah.
*) Penulis adalah Profesional (Former), CEO Perusahaan Swasta, Penulis Buku, Kolumnis KOMPAS.